Selasa, 04 Maret 2014

Membangun Tradisi Pemilih Cerdas Menuju Pemilu Bekualitas


Pelaksanaan Pemilu Legislatif 2014 tinggal menghitung hari yang akan digelar pada 9 April 214 dan diikuti 12 Partai Politik secara nasional dan 3 partai lokal Aceh. Sejak memasuki masa kampanye Pemilu DPR, DPRD Provinsi dan Kab/Kota, maupun DPD yang dimulai sejak 11 Januari 2014, telah menyaksikan berbagai bentuk suguhan dari para elit Parpol atau non Parpol, baik dari calon wakil rakyat atau tim pemenangan calon wakil rakyat untuk menarik simpatik atau dukungan agar mendapatkan jatah kursi untuk mewakili rakyat. Para calon wakil rakyat telah menawarkan suguhan (marketing kampanye) yang juga bervariasi, mulai yang memiliki pola, strategi, dan taktik (mayoritas oleh Caleg pemilik modal), maupun tanpa pola/bentuk (modal percaya diri atau kenekatan untuk dikenal rakyat). Ruang-ruang publik (millik rakyat) saat ini sesak dijejali perilaku, tingkah laku, senyum, bahkan janji-janji manis bertabur dusta untuk mendapat kuasa dari rakyat. Fenomena kampanye di ranah publik telah dibanjiri poster, spanduk, baliho, blusukan, safari atau  silaturrahmi politik ke masyarakat, hingga visualisasi pencitraan secara massif.

Tradisi Memillih dalam Pemilu

Tentu kita sebagai “rakyat” yang diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (2) memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, serta memiliih wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Perwujudan kedaulatan rakat dilaksanakan melalui Pemilu secara langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakilnya yang akan menjalankan fungsi melakukan pengawasan, menyalurkan aspirasi  politik rakyat, membuat undang-undang sebagai landasan bagi semua pihak di dalam wilayah NKRI dalam menjalankan fungsi masing-masing, serta merumuskan anggaran pendapatan dan belanja untuk membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut.

Dalam konteks ini, “rakyat” merupakan unsur penentu pemberi dan pemilik kuasa daulat kepada calon wakilnya melalui proses Pemilihan Umum (PEMILU). Rakyat juga diberikan hak dan kewajiban dalam menyerahkan sebagian kedaulatannya kepada partai politik yang merepresentasikan calon wakil rakyat (Caleg). Posisi “rakyat” sebagai pemberi mandat dalam Pemilu adalah subjek (pelaku dalam Pemilu) yang dalam undang-undang disebut pemilih, yakni warga negara yang telah genap berumur 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin dan tidak sedang dicbut hak pilihnya (UU 15/2013).  Dalam sistem Pemilu dengan asas langsung, Pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara. Pemilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Wujud implementasi dari hak pemilih tersebut harus dijamin keamanannya oleh negara, sehingga dapat memilih sesuai kehendak hati nuraninya. Pemilih juga dijamin oleh undang-undang bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak manapun. Hal ini mencerminkan bahwa eksistensi Pemilih merupakan salah satu indikator terwujudnya “Pemilu Berkualitas”.

Sayangnya, partisipasi rakyat dalam beberapa pengalaman Pemilu (legislatif, presiden, dan Pemilukada) kerap kali menempatkan dirinya sebagai objek dari kepentingan elit, bukan sebagai subjek untuk menentukan masa depan bangsa. Secara umum tradisi pemilih dalam moment Pemilu belum mencerminkan sebuah kesadaran kritis dan rasional dalam menentukan pilihan. Dalam beberapa literatur politik, tipologi pemililh dibagi dalam 4 tipe. Pertama, pemilih tradisional belum menjadikan kebijakan Parpol atau visi misi Caleg sebagai sesuatu yang penting, tapi lebih dimobilisir selama periode kampanye. Kedua, pemilih skeptis, tidak memiliki pandangan ideologis terhadap  kebijakan Parpol atau kontestan Pemilu, tetapi didasarkan pilihanny secara acak. Ketiga, pemilih rasional, memiliki orientasi tinggi pada kebijakan penyelesaian masalah dan berorientasi  rendah untuk faktor ideologi, namun menitik beratkan pada tawaran program dan track record kontestan. Keempat, pemilih kritis adalah perpaduan antara tingginya orientasi pada kemampuan Parpol atau  seorang kontestan dalam menuntaskan permasalahan bangsa kedepan maupun orientasi  ideologis.

Jika melihat dari tipologi pemilih tersebut, hemat penulis, tradisi partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak piliihnya yang perlu dibangun dalam Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden mendatang adalah membangun tradisi pemilih cerdas, yakni perpaduan dari keempat tipologi yang tidak terpisahkan satu sama lain, yakni tradisional, apatis, rasional dan kritis. Pemilih cerdas tidak cukup hanya dibangun dalam kerangka rasional dan kritis, tetapi juga perlu didasarkan pada segmen pemilih yang berada pada komunitas pedesaan atau perkotaan. Tingkat rasionalitas dan kritisisme pemilih tentu akan berbeda dengan masyarakat pedesaan dan perkotaan. Segmentasi masyarakat pemilih tersebut perlu menjadi catatan dan perhatian serius seluruh stake holder, baik oleh penyelenggara dan peserta Pemilu, maupun oleh aparat pemerintah daerah dan aparat keamanan.

Masyarakat pedesaan sering dikelompokkan ke dalam tipologi tradisional dalam memilih yang minim pertimbangan rasional dan sikap kritis dalam menentukan pilihannya, sehingga peluang terjadi adalah mobilisasi yang mengutamakan kedekatan sosial-budaya, nilai, asal-usul, faham, dan agama, atau lebih  mengutamakan figur (keperibadian).Oleh karena masarakat pedesaan memiliki tingkat kepatuhan untuk dimobilisir dan tingkat solidaritas sosial yang tinggi, maka patisipasi masyarakat pedesaan dalam memilih juga cukup tinggi (golput lebih sedikit). Sementara masyarakat perkotaan yang dikelompokkan dalam tipologi apatis, rasional dan kritis, sehingga faktor asal-usul, nilai tradisional, budaya, agama, dan psikografis tidak signifikan menjadi pertimbangan dalam memilih. Hanya saja tingkat partisipasi masyarakat perkotaan, memiliki potensi Golput yang cukup tinggi. Terutama jika visi dan misi atau program dari kontestan Pemilu yang disuguhkan kurang menarik, sehingga tidak memberikan jawaban untuk perbaikan bangsa yang diharapkan. Hal ini dapat pula diperparah dengan perilaku para politisi dan elit Parpol selama berkuasa yang mengecewakan rakyat, sehingga menurunkan tingkat kepercayaan kepada Parpol. Kelompok masyarakat pekotaan juga memiliki tingkat penghukuman sosial yang tinggi kepada Parpol atau kontestan politik.

Membangun Tradisi Pemilih Cerdas

Membangun tradisi pemilih cerdas di tingkat pedesaan dan perkotaan merupakan hal urgen yang harus dilaksanakan, jika ingin mewujudkan tatanan demokrasi yang berkualitas dalam Pemilu. Meskipun terminologi “pemilih cerdas” belum diulas dalam literatur ilmu poitik, namun bagi penulis“pemililh cerdas” adalah output dari proses pendidikan politik yang dilakukan secara sistematis, terstruktur (komprehensif) dan berbasis anggaran, dalam upaya peningkatan partisipasi pemilih dalam Pemilu. Hal ini dilatarbelakangi oleh tingkat partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemilu semakin menurun yang salah satu indikatornya adalah meningkatnya angka pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya, dan atau meningkatnya partisipasi pemilih yang bukan didasarkan atas kesadaran rasional, kritis, dan hati nurani, tetapi lebih didasarkan transaksi politik uang, sehingga mencederai jaminan konstitusional hak asasi manusia setiap warga negara dalam penyelenggaraan Pemilu.

Konsepsi “pemilih cerdas”sangat terkait dengan unsur partisipasi masyarakat, informasi Pemilu, sosialisasi Pemilu, dan Pendidikan Politik.  Partisipasi masyarakat adalah sejauh mana keterlibatan perorangan dan/atau kelompok dalam penyelenggaraan Pemilu. Sedangkan informasi Pemilu bertalian dengan sebuah sistem, tata cara, dan hasil penyelenggaraan Pemilu. Hal ini juga diwujudkan dalam kegiatan sosialisasi Pemilu sebagai proses penyampaian informasi tentang tahapan dan Program penyelenggaraan Pemilu. Ketiga unsur tersebut (partisipasi, informasi dan sosialisasi) harus diimplementasikan dalam pendidikan politik bagi pemilih, sebagai proses penyampaian informasi kepada pemilih untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran pemilih tentang Pemilu.

Mengacu pada konsepsi tersebut, setidaknya bagi penulis ada 3 indeks penting dari proses pembangunan tradisi menuju budaya politik (pemilih cerdas)yang lebih baik, meminjam istilah Samuel P Huntington, yaitu rasionalisasi wewenang, diferensiasi struktur dan perluasan peran serta politik massa. Jika pemilu sebagai sebuah sistem politik, maka mekanisme wewenang para pihak yang terlibat dalam sub sistem (penyelenggaraan, pengawasan, perencanaan, penganggaran, dan pengamanan) harus memiliki arus wewenang yang jelas yang mengalir dari atas hingga mencapai lapisan masyarakat paling bawah di tingkat perkotaan dan pedesaan. Arus kewenangan tersebut harus tergambar jelas terhadap unsur partisipasi masyarakat, informasi Pemilu, sosialisasi Pemilu, dan Pendidikan Politik.Untuk memandu arah tujuan ke dalam pencapaian sasaran tradisi pemilih cerdas, diferensiasi struktur akan dapat berfungsi sebagai determinan dalam pendistribusian tugas dan kewenangan. Hal ini terkait siapa berbuat apa. Karena itu, masing-masing komponen dalam penyelenggaraan Pemiluharus saling bersinergi dari atas hingga tingkat paling bawah, sepeti KPU atau Partai Politiik baik tingkat Pusat, Provinsi, Kab/Kota, Kecamatan, desa, hingga tingkat TPS. Setiap tingkatan menjalankan fungsinya masing-masing secara maksimal. Sementara ditingkat daerah maupun wilayah, proses politik dapat melibatkan peran serta masyarakat luas, sehingga masyarakat akan semakin sadar bahwa pilihan politik yang mereka gunakan akan menentukan masa depannya. Kesadaran yang terbangun melahirkan 4 indikator penting, yakni moralitas politik dan pemerintahan, demokratisasi kehidupan politik dan pemerintahan, mencegah menumpuknya tugas-tugas pemerintahan  dipusat birokrasi dan latihan bagi warga negara untuk menggunakan hak-hak politiknya secara lebih bertanggung jawab.

Dalam konteks tersebut, peran partai politik sangat dibutuhkan dalam membangun tradisi Pemilih Cerdas. Partai yang ideal menurut Seydou Kouyate, haruslah merupakan organisasi politik yang berfungsi sebagai wadah perpaduan dimana warga desa dan masyarakat kota bertemu menjadi satu. Ia harus mampu membuka keterasingan masyarakat desa dan mencapai solidaritas nasional yang lantas kian memperkokoh keberadaannya. Dengan begitu, jurang pemisah diantara keduanya telah diisi secara positif, sedang berbagai strata sosialmasyarakat dipersatukan ke dalam satu aliran yang berorientasi pada upaya pencapaian tujuan-tujuan politik yang sama.Partai politik dituntutkomitmennya dalam membangun demokrasi lewat mandat kerakyatan dan media dituntut untukmemberitakan informasi yang rasional dan proposional.Partai politik memiliki peranan yang sangat signifikan dalam setiap sistem demokrasi. Partai politik merupakan pilar bangsa yang memainkanperan penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara.

Membangun tradisi pemilih cerdas bukan hanya menjadi peran strategis dari Parpol, tetapi KPU bertanggung jawab dan sangat beperan dalam memfasilitasi tersedianya saluranin formasi tentang Pemilu, track record Caleg (KontestanPemilu), maupun visi-misi Parpol atau Caleg. KPU harus mendorong terciptanya pemerataan distribusi informasi, sehingga masyarakat memperoleh informasi yang sama tentang demokrasi dan kepemiluan. KPU juga bertanggungjawab dalam memberikan saluran informasi dalam bentuk sosialisasi tepat sasaran dan tepat waktu, serta keterlibatan masyarakat dalam setiap item tahapan pemilihan umum dan lain-lain. Informasi ini harus dapat diakses langsung oleh masyarakat luas dengan cara mudah dan murah, dari masyarakat pedesaan dan perkotaan, hingga masyarakat melekhurufatau yang memiliki keterbatasan fisik.

Dari berbagai pengalaman menunjukkan bahwa setiap penyelenggaraan pemilihan umum,  banyak warga negara tidak mengetahui berapa jumlah partai politik peserta pemilihan umum dan nomor urutnya, cara memilih dan lain sebagainya.Apalagi di tengahpenerapan PKPU No 15 Tahun 2013 yang membatasi Caleg atau Parpol dalam pemasanganan alat peraga kampanye, termasuk perubahan system pemungutan suara dari pencoblosan kepencontrengan, dan ditiadakannya tanda gambar dalam surat suara. Kurangnya informasi tentang ketiga makanisme tersebut dapat dipastikanakan berdampak pada kualitashasil Pemilu dan akan terbuka peluang sengketa yang dapat memicu konflik di tengah masyarakat.Minimnya sosialisasi, informasi dan pendidikan politik tentu akan menurunkan kualitashasil pemilu.

Sementara sistem politik yang diamanatkan dalam regulasiPemilu menuntut masyarakat untuk lebih cerdas memilih ditengah keterbatasan saluran akses dan sumber informasi untuk mengetahui calon-calon wakil rakyatnya yang akan dipilih. Karena itu, peran media sangat dibutuhkan dalam mendorong penguatan warga negara sebagai pemilih cerdas. Informasi politik melalui media secara berimbang dan profesional sangat berperan dalam memainkan emosi dan kesadaran masyarakat dalam menentukan sikap politik. Untuk itu media harus lebih sensitif dan responsif pada realitas sosial dan tidak menjadi alat politik kelompok tertentu.

Upaya mewujudkan pemilih cerdas dalamPemilu diharapkan bukan sebatas lipstik demokrasi, tetapi merupakan kebutuhan mendasar akan realitas sosial politik. Hal ini merupakan harapan dantugasbersama untuk selalu mengawal, bahkanbeparitipasilangsungdalam proses perjalanan pemilihan umum 2014 yang lebih berkualitasdan bukan sebatas wacana dalam memperluas keikutsertaan masyarakat dalam pemilihan umum, membangun kultur pemilih cerdas yang lebih baik dan menyempurnakan struktur (mandat rakyat) serta menguatkan aktor (pemilih), yang pada gilirannya peningkatan kesejahteraan melalui demokrasi dapat terpenuhi.

Jumat, 07 Februari 2014

MENYAMBUT PPS SEBAGAI TAMU ISTIMEWA ?


Hamdan, S.Sos.I (Alumni FDK IAIN Mataram & Aktivis PMII Mataram)


Pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa pertama kali muncul 14 tahun yang lalu. Gebrakan dalam memperjuangkan Provinsi Pulau Sumbawa menjadi catatan sejarah masyarakat pulau sumbawa, Pembentukan provinsi baru ini dapat didasari atas beberapa hal; misalnya kondisi alam dan ekonomi, keadaan sosial masyarakat, keterkaitan beberapa kabupaten/kota dalam suatu kesatuan sejarah, suku bangsa dan budaya, dan lain sebagainya. Alasan paling mengemuka dalam wacana pemekaran daerah adalah sejalan dengan semangat otonomi daerah; beberapa provinsi dianggap memiliki wilayah terlalu luas sehingga diperlukan upaya untuk memudahkan pelayanan administrasi dan pemangkasan birokrasi dari ibu kota provinsi ke daerah dengan cara pemekaran, yaitu dengan penyatuan beberapa kabupaten/kota menjadi provinsi baru.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang tata cara pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah, diisyaratkan bahwa dalam pembentukan pemerintah daerah yang baru didasari kepada persyaratan administratif, teknis dan fisik kewilayahan, termasuk kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, tingkat kesejahteraan masyarakat, rentang kendali, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Secara administratif paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota untuk pembentukan suatu provinsi dan paling sedikit 5 (lima) kecamatan untuk pembentukan suatu kabupaten, dan 4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kota termasuk lokasi calon ibu kota, sarana, dan prasarana pemerintahan. Sementara secara administarasi dan kewilayahan provinsi pulau sumbawa sudah sangat mendukung untuk menjadi provinsi baru dan dengan sumber daya yang dimiliki provinsi ini nantinya menjadi provinsi mandiri tinggal bagaimana cara menata perjalanan organisasi agar tidak jauh ketinggalan dari provinsi lain.

Beberapa hari yang lalu tepatnya tanggal 2 Februari 2014 Presiden Republik Indonesia bapak Susilo Bambang Yudhoyono telah mengeluarkan Amanat Presiden terkait pemekaran 65 DOB yang tersebar di seluruh wilayah di Indonesia yang telah ditandatangani pada tanggal 27 Desember 2013 dan Provinsi Pulau Sumbawa (PPS) berada pada urut nomor 60. Namun bukan berarti kita berkecil hati karena PPS berada hampir diurutan terakhir namun do’a dan keseriusan tentu menjadi setu kesatuan agar hasil dari tim yang datang ke pulau sumbawa memberikan kepercayaan untuk masyarakat pulau sumbawa dalam menjawab mimpi dan angan sebagai daerah otonom baru. Manurut berita yang beredar bahwa Tim dari  Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) yang direncanakan melakukan kunjungan ke calon Provinsi Pulau Sumbawa antara tanggal 15 hingga 20 Februari 2014. Agar mampu mendengar cita-cita masyarakat pulau sumbawa untuk menjadikan daerah tersebut menjadi daerah mandiri. Mendengar persoalan tersebut berarti kemajuan proses pembahasan pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa di DPR RI melaui proses persiapan membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Provinsi Pulau Sumbawa yang menjadi kewenangan DPR bersama Pemerintah. 

Memang banyak tantangan dan rintangan yang telah dilalui oleh para pejuang PPS namun tak lupa pula itu semua tak terlepas dari perjuangan seluruh elemen masyarakat pulau sumbawa dalam sepak terjang mempertahankan prinsip demi terwujudnya sebuah provinsi baru diwilayah pulau sumbawa.

Tentu yang menjadi Pertanyaan besar para pakar yang tergabung dalam DPOD bagaimana persiapan masyarakat dan ibu kota provinsi ?. Penulis beranggapan bahwa, pertanyaan tersebut tentu bukan alasan dan masalah bagi masyarakat provinsi pulau sumbawa untuk menjadi provinsi baru. semua itu tidak terlepas dari peran pemangku kepentingan yang ada diwilayah pulau sumbawa dan gubernur dari daerah asal pemekaran (Provinsi Nusa Tenggara Barat). Dalam catatan perjuangan PPS tentu banyak isu yang menjadi bagian dari proses aktualisasi dalam membangun konslidasi antar individu bahkan kelompok sebagai strategi meyakin pemerintah pusat dan Komisi terkait untu mendorong percepatan pembentukan PPS. Wal hasil beberapa tulisan yang coba diaktualisasikan oleh beberapa tokoh baik dari kalangan politisi yang berasal dari wilayah pulau sumbawa dan wilayah pulau lombok yang masih tergabung dalam dapil NTB, pengurus KP3S Jakarta maupun pengurus KP3S mataram Serta tokoh muda yang tergabung dalam barisan terdepan perjuang PPS yang berbunyi PPS HARGA MATI !!!!!!!!! 

Bahasa ini dikaji dalam perspektif bahasa tentu tidak elegan dan berwibawa namun dalam perspektif kepentingan khalayak banyak tentu kata-kata ini pantas untuk disuarakan agar kepercayaan pemerintah dan lembaga terkait mengilhami agar PPS segera disahkan menjadi daerah otonom baru. 

Dalam al-Quran pun telah dijelskan bahwa “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itu pun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada’. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zhalim.” (Ali Imran 3: 139-140)

Memperjuangan PPS tentu tidak luput dari sebuah kesabaran, keikhlasan dan ketulusan jiwa untuk meyakinkan masyarakat dan pemerintah agar PPS tidalah mimpi dan angan-angan. Kita tidak ada kata dan ucapan yang penulis bayangkan sebagai rasa terimaksih kepada para pejuang PPS dimanapun berada, perjuangan yang telah dilakukan hanya allah lah yang mengetahui.

PPS bukan mimpi karena PPS terbentukan atas keinginan dan secerca harapan agar pelayanan masyarakat semakin dekat dan mudah. mari kita berdo’a untuk PPS....... dan berdoa untuk tim DPOB agar diberikan kepercayaan sebagai bagian dari proses penetapan PPS.