Pelaksanaan Pemilu Legislatif 2014 tinggal menghitung
hari yang akan digelar pada 9 April 214 dan diikuti 12 Partai Politik secara
nasional dan 3 partai lokal Aceh. Sejak memasuki masa kampanye Pemilu DPR, DPRD
Provinsi dan Kab/Kota, maupun DPD yang dimulai sejak 11 Januari 2014, telah
menyaksikan berbagai bentuk suguhan dari para elit Parpol atau non Parpol, baik
dari calon wakil rakyat atau tim pemenangan calon wakil rakyat untuk menarik
simpatik atau dukungan agar mendapatkan jatah kursi untuk mewakili rakyat. Para
calon wakil rakyat telah menawarkan suguhan (marketing kampanye) yang juga
bervariasi, mulai yang memiliki pola, strategi, dan taktik (mayoritas oleh
Caleg pemilik modal), maupun tanpa pola/bentuk (modal percaya diri atau
kenekatan untuk dikenal rakyat). Ruang-ruang publik (millik rakyat) saat ini
sesak dijejali perilaku, tingkah laku, senyum, bahkan janji-janji manis
bertabur dusta untuk mendapat kuasa dari rakyat. Fenomena kampanye di ranah
publik telah dibanjiri poster, spanduk, baliho, blusukan, safari atau
silaturrahmi politik ke masyarakat, hingga visualisasi pencitraan secara
massif.
Tradisi Memillih dalam Pemilu
Tentu kita sebagai “rakyat” yang diamanatkan dalam UUD
1945 pasal 1 ayat (2) memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban
untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna
mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, serta memiliih wakil rakyat
untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Perwujudan kedaulatan rakat dilaksanakan
melalui Pemilu secara langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih
wakilnya yang akan menjalankan fungsi melakukan pengawasan, menyalurkan
aspirasi politik rakyat, membuat undang-undang sebagai landasan bagi
semua pihak di dalam wilayah NKRI dalam menjalankan fungsi masing-masing, serta
merumuskan anggaran pendapatan dan belanja untuk membiayai pelaksanaan
fungsi-fungsi tersebut.
Dalam konteks ini, “rakyat” merupakan unsur penentu
pemberi dan pemilik kuasa daulat kepada calon wakilnya melalui proses Pemilihan
Umum (PEMILU). Rakyat juga diberikan hak dan kewajiban dalam menyerahkan
sebagian kedaulatannya kepada partai politik yang merepresentasikan calon wakil
rakyat (Caleg). Posisi “rakyat” sebagai pemberi mandat dalam Pemilu adalah
subjek (pelaku dalam Pemilu) yang dalam undang-undang disebut pemilih, yakni
warga negara yang telah genap berumur 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah
kawin dan tidak sedang dicbut hak pilihnya (UU 15/2013). Dalam sistem
Pemilu dengan asas langsung, Pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya
secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara. Pemilih
bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Wujud
implementasi dari hak pemilih tersebut harus dijamin keamanannya oleh negara,
sehingga dapat memilih sesuai kehendak hati nuraninya. Pemilih juga dijamin
oleh undang-undang bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak manapun.
Hal ini mencerminkan bahwa eksistensi Pemilih merupakan salah satu indikator
terwujudnya “Pemilu Berkualitas”.
Sayangnya, partisipasi rakyat dalam beberapa
pengalaman Pemilu (legislatif, presiden, dan Pemilukada) kerap kali menempatkan
dirinya sebagai objek dari kepentingan elit, bukan sebagai subjek untuk
menentukan masa depan bangsa. Secara umum tradisi pemilih dalam moment Pemilu
belum mencerminkan sebuah kesadaran kritis dan rasional dalam menentukan
pilihan. Dalam beberapa literatur politik, tipologi pemililh dibagi dalam 4
tipe. Pertama, pemilih tradisional belum menjadikan kebijakan Parpol atau visi
misi Caleg sebagai sesuatu yang penting, tapi lebih dimobilisir selama periode
kampanye. Kedua, pemilih skeptis, tidak memiliki pandangan ideologis
terhadap kebijakan Parpol atau kontestan Pemilu, tetapi didasarkan
pilihanny secara acak. Ketiga, pemilih rasional, memiliki orientasi tinggi pada
kebijakan penyelesaian masalah dan berorientasi rendah untuk faktor
ideologi, namun menitik beratkan pada tawaran program dan track record
kontestan. Keempat, pemilih kritis adalah perpaduan antara tingginya orientasi
pada kemampuan Parpol atau seorang kontestan dalam menuntaskan
permasalahan bangsa kedepan maupun orientasi ideologis.
Jika melihat dari tipologi pemilih tersebut, hemat
penulis, tradisi partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak piliihnya yang
perlu dibangun dalam Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden mendatang adalah
membangun tradisi pemilih cerdas, yakni perpaduan dari keempat tipologi yang
tidak terpisahkan satu sama lain, yakni tradisional, apatis, rasional dan
kritis. Pemilih cerdas tidak cukup hanya dibangun dalam kerangka rasional dan
kritis, tetapi juga perlu didasarkan pada segmen pemilih yang berada pada
komunitas pedesaan atau perkotaan. Tingkat rasionalitas dan kritisisme pemilih
tentu akan berbeda dengan masyarakat pedesaan dan perkotaan. Segmentasi
masyarakat pemilih tersebut perlu menjadi catatan dan perhatian serius seluruh
stake holder, baik oleh penyelenggara dan peserta Pemilu, maupun oleh aparat
pemerintah daerah dan aparat keamanan.
Masyarakat pedesaan sering dikelompokkan ke dalam
tipologi tradisional dalam memilih yang minim pertimbangan rasional dan sikap
kritis dalam menentukan pilihannya, sehingga peluang terjadi adalah mobilisasi
yang mengutamakan kedekatan sosial-budaya, nilai, asal-usul, faham, dan agama,
atau lebih mengutamakan figur (keperibadian).Oleh karena masarakat
pedesaan memiliki tingkat kepatuhan untuk dimobilisir dan tingkat solidaritas
sosial yang tinggi, maka patisipasi masyarakat pedesaan dalam memilih juga
cukup tinggi (golput lebih sedikit). Sementara masyarakat perkotaan yang
dikelompokkan dalam tipologi apatis, rasional dan kritis, sehingga faktor
asal-usul, nilai tradisional, budaya, agama, dan psikografis tidak signifikan
menjadi pertimbangan dalam memilih. Hanya saja tingkat partisipasi masyarakat
perkotaan, memiliki potensi Golput yang cukup tinggi. Terutama jika visi dan
misi atau program dari kontestan Pemilu yang disuguhkan kurang menarik,
sehingga tidak memberikan jawaban untuk perbaikan bangsa yang diharapkan. Hal
ini dapat pula diperparah dengan perilaku para politisi dan elit Parpol selama
berkuasa yang mengecewakan rakyat, sehingga menurunkan tingkat kepercayaan
kepada Parpol. Kelompok masyarakat pekotaan juga memiliki tingkat penghukuman
sosial yang tinggi kepada Parpol atau kontestan politik.
Membangun Tradisi Pemilih Cerdas
Membangun tradisi pemilih cerdas di tingkat pedesaan
dan perkotaan merupakan hal urgen yang harus dilaksanakan, jika ingin
mewujudkan tatanan demokrasi yang berkualitas dalam Pemilu. Meskipun
terminologi “pemilih cerdas” belum diulas dalam literatur ilmu poitik, namun
bagi penulis“pemililh cerdas” adalah output dari proses pendidikan politik yang
dilakukan secara sistematis, terstruktur (komprehensif) dan berbasis anggaran,
dalam upaya peningkatan partisipasi pemilih dalam Pemilu. Hal ini
dilatarbelakangi oleh tingkat partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan
Pemilu semakin menurun yang salah satu indikatornya adalah meningkatnya angka
pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya, dan atau meningkatnya partisipasi
pemilih yang bukan didasarkan atas kesadaran rasional, kritis, dan hati nurani,
tetapi lebih didasarkan transaksi politik uang, sehingga mencederai jaminan
konstitusional hak asasi manusia setiap warga negara dalam penyelenggaraan
Pemilu.
Konsepsi “pemilih cerdas”sangat terkait dengan unsur
partisipasi masyarakat, informasi Pemilu, sosialisasi Pemilu, dan Pendidikan
Politik. Partisipasi masyarakat adalah sejauh mana keterlibatan
perorangan dan/atau kelompok dalam penyelenggaraan Pemilu. Sedangkan informasi
Pemilu bertalian dengan sebuah sistem, tata cara, dan hasil penyelenggaraan
Pemilu. Hal ini juga diwujudkan dalam kegiatan sosialisasi Pemilu sebagai
proses penyampaian informasi tentang tahapan dan Program penyelenggaraan
Pemilu. Ketiga unsur tersebut (partisipasi, informasi dan sosialisasi) harus
diimplementasikan dalam pendidikan politik bagi pemilih, sebagai proses
penyampaian informasi kepada pemilih untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman,
dan kesadaran pemilih tentang Pemilu.
Mengacu pada konsepsi tersebut, setidaknya bagi
penulis ada 3 indeks penting dari proses pembangunan tradisi menuju budaya
politik (pemilih cerdas)yang lebih baik, meminjam istilah Samuel P Huntington, yaitu rasionalisasi wewenang, diferensiasi
struktur dan perluasan peran serta politik massa. Jika pemilu sebagai sebuah
sistem politik, maka mekanisme wewenang para pihak yang terlibat dalam sub
sistem (penyelenggaraan, pengawasan, perencanaan, penganggaran, dan pengamanan)
harus memiliki arus wewenang yang jelas yang mengalir dari atas hingga mencapai
lapisan masyarakat paling bawah di tingkat perkotaan dan pedesaan. Arus
kewenangan tersebut harus tergambar jelas terhadap unsur partisipasi
masyarakat, informasi Pemilu, sosialisasi Pemilu, dan Pendidikan Politik.Untuk
memandu arah tujuan ke dalam pencapaian sasaran tradisi pemilih cerdas,
diferensiasi struktur akan dapat berfungsi sebagai determinan dalam
pendistribusian tugas dan kewenangan. Hal ini terkait siapa berbuat apa. Karena
itu, masing-masing komponen dalam penyelenggaraan Pemiluharus saling bersinergi
dari atas hingga tingkat paling bawah, sepeti KPU atau Partai Politiik baik
tingkat Pusat, Provinsi, Kab/Kota, Kecamatan, desa, hingga tingkat TPS. Setiap
tingkatan menjalankan fungsinya masing-masing secara maksimal. Sementara
ditingkat daerah maupun wilayah, proses politik dapat melibatkan peran serta
masyarakat luas, sehingga masyarakat akan semakin sadar bahwa pilihan politik
yang mereka gunakan akan menentukan masa depannya. Kesadaran yang terbangun
melahirkan 4 indikator penting, yakni moralitas politik dan pemerintahan,
demokratisasi kehidupan politik dan pemerintahan, mencegah menumpuknya
tugas-tugas pemerintahan dipusat birokrasi dan latihan bagi warga negara
untuk menggunakan hak-hak politiknya secara lebih bertanggung jawab.
Dalam konteks tersebut, peran partai politik sangat dibutuhkan
dalam membangun tradisi Pemilih Cerdas. Partai yang ideal menurut Seydou
Kouyate, haruslah merupakan organisasi politik yang berfungsi sebagai wadah
perpaduan dimana warga desa dan masyarakat kota bertemu menjadi satu. Ia harus
mampu membuka keterasingan masyarakat desa dan mencapai solidaritas nasional
yang lantas kian memperkokoh keberadaannya. Dengan begitu, jurang pemisah
diantara keduanya telah diisi secara positif, sedang berbagai strata
sosialmasyarakat dipersatukan ke dalam satu aliran yang berorientasi pada upaya
pencapaian tujuan-tujuan politik yang sama.Partai politik dituntutkomitmennya
dalam membangun demokrasi lewat mandat kerakyatan dan media dituntut
untukmemberitakan informasi yang rasional dan proposional.Partai politik
memiliki peranan yang sangat signifikan dalam setiap sistem demokrasi. Partai
politik merupakan pilar bangsa yang memainkanperan penghubung yang sangat
strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara.
Membangun tradisi pemilih cerdas bukan hanya menjadi peran
strategis dari Parpol, tetapi KPU bertanggung jawab dan sangat beperan dalam memfasilitasi
tersedianya saluranin formasi tentang Pemilu, track record Caleg
(KontestanPemilu), maupun visi-misi Parpol atau Caleg. KPU harus mendorong
terciptanya pemerataan distribusi informasi, sehingga masyarakat memperoleh
informasi yang sama tentang demokrasi dan kepemiluan. KPU juga bertanggungjawab
dalam memberikan saluran informasi dalam bentuk sosialisasi tepat sasaran dan
tepat waktu, serta keterlibatan masyarakat dalam setiap item tahapan pemilihan
umum dan lain-lain. Informasi ini harus dapat diakses langsung oleh masyarakat
luas dengan cara mudah dan murah, dari masyarakat pedesaan dan perkotaan,
hingga masyarakat melekhurufatau yang memiliki keterbatasan fisik.
Dari berbagai pengalaman menunjukkan bahwa setiap
penyelenggaraan pemilihan umum, banyak warga negara tidak mengetahui
berapa jumlah partai politik peserta pemilihan umum dan nomor urutnya, cara
memilih dan lain sebagainya.Apalagi di tengahpenerapan PKPU No 15 Tahun 2013
yang membatasi Caleg atau Parpol dalam pemasanganan alat peraga kampanye,
termasuk perubahan system pemungutan suara dari pencoblosan kepencontrengan,
dan ditiadakannya tanda gambar dalam surat suara. Kurangnya informasi tentang ketiga
makanisme tersebut dapat dipastikanakan berdampak pada kualitashasil Pemilu dan
akan terbuka peluang sengketa yang dapat memicu konflik di tengah masyarakat.Minimnya
sosialisasi, informasi dan pendidikan politik tentu akan menurunkan kualitashasil
pemilu.
Sementara sistem politik yang diamanatkan dalam regulasiPemilu
menuntut masyarakat untuk lebih cerdas memilih ditengah keterbatasan saluran akses
dan sumber informasi untuk mengetahui calon-calon wakil rakyatnya yang akan dipilih.
Karena itu, peran media sangat dibutuhkan dalam mendorong penguatan warga
negara sebagai pemilih cerdas. Informasi politik melalui media secara berimbang
dan profesional sangat berperan dalam memainkan emosi dan kesadaran masyarakat
dalam menentukan sikap politik. Untuk itu media harus lebih sensitif dan
responsif pada realitas sosial dan tidak menjadi alat politik kelompok
tertentu.
Upaya mewujudkan pemilih cerdas dalamPemilu diharapkan
bukan sebatas lipstik demokrasi, tetapi merupakan kebutuhan mendasar akan
realitas sosial politik. Hal ini merupakan harapan dantugasbersama untuk selalu
mengawal, bahkanbeparitipasilangsungdalam proses perjalanan pemilihan umum 2014
yang lebih berkualitasdan bukan sebatas wacana dalam memperluas keikutsertaan
masyarakat dalam pemilihan umum, membangun kultur pemilih cerdas yang lebih
baik dan menyempurnakan struktur (mandat rakyat) serta menguatkan aktor
(pemilih), yang pada gilirannya peningkatan kesejahteraan melalui demokrasi
dapat terpenuhi.