Sebelum
membicarakan wawasan Al-Quran tentang kematian, terlebih dahulu perlu
digarisbawahi bahwa kematian dalam pandangan Al-Quran tidak hanya terjadi
sekali, tetapi dua kali. Surat Ghafir ayat 11 mengabadikan sekaligus
membenarkan ucapan orang-orang kafir di hari kemudian: "Mereka berkata,
'Wahai Tuhan kami, Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan
kami dua kali (pula), lalu kami menyadari dosa-dosa kami maka adakah jalan bagi
kami untuk keluar (dari siksa neraka)?" Kematian oleh sementara ulama
didefinisikan sebagai "ketiadaan hidup," atau "antonim dari
hidup." Kematian pertama dialami oleh manusia sebelum kelahirannya, atau
saat sebelum Allah menghembuskan ruh kehidupan kepadanya; sedang kematian kedua,
saat ia meninggalkan dunia yang fana ini.
Kehidupan pertama
dialami oleh manusia pada saat manusia menarik dan menghembuskan nafas di
dunia, sedang kehidupan kedua saat ia berada di alam barzakh, atau kelak ketika
ia hidup kekal di hari akhirat. Al-Quran berbicara tentang kematian dalam
banyak ayat, sementara pakar memperkirakan tidak kurang dari tiga ratusan ayat
yang berbicara tentang berbagai aspek kematian dan kehidupan sesudah kematian
kedua.
1. KESAN UMUM TENTANG KEMATIAN
Secara umum dapat dikatakan
bahwa pembicaraan tentang kematian bukan sesuatu yang menyenangkan. Namun
manusia bahkan ingin hidup seribu tahun lagi. Ini, tentu saja bukan hanya
ucapan Chairil Anwar, tetapi Al-Quran pun melukiskan keinginan sekelompok
manusia untuk hidup selama itu (baca surat Al-Baqarah [2]: 96). Iblis berhasil
merayu Adam dan Hawa melalui "pintu" keinginan untuk hidup kekal
selama-lamanya. "Maukah engkau kutunjukkan pohon kekekalan (hidup) dan
kekuasaan yang tidak akan lapuk? (QS Thaha [20]: 120). DEMIKIAN IBLIS MERAYU
ADAM.
Banyak faktor yang
membuat seseorang enggan mati. Ada orang yang enggan mati karena ia tidak
mengetahui apa yang akan dihadapinya setelah kematian; mungkin juga karena
menduga bahwa yang dimiliki sekarang lebih baik dari yang akan didapati nanti.
Atau mungkin juga karena membayangkan betapa sulit dan pedih pengalaman mati
dan sesudah mati. Atau mungkin karena khawatir memikirkan dan prihatin terhadap
keluarga yang ditinggalkan, atau karena tidak mengetahui makna hidup dan mati,
dan lain sebagainya, sehingga semuanya merasa cemas dan takut menghadapi
kematian. Dari sini lahir pandangan-pandangan optimistis dan pesimistis
terhadap kematian dan kehidupan, bahkan dari kalangan para pemikir sekalipun.
Manusia, melalui nalar dan pengalamannya tidak mampu mengetahui hakikat
kematian, karena itu kematian dinilai sebagai salah satu gaib nisbi yang paling
besar.
Walaupun pada
hakikatnya kematian merupakan sesuatu yang tidak diketahui, namun setiap
menyaksikan bagaimana kematian merenggut nyawa yang hidup manusia semakin
terdorong untuk mengetahui hakikatnya atau, paling tidak, ketika itu akan
terlintas dalam benaknya, bahwa suatu ketika ia pun pasti mengalami nasib yang
sama.
Manusia menyaksikan
bagaimana kematian tidak memilih usia atau tempat, tidak pula menangguhkan
kehadirannya sampai terpenuhi semua keinginan. Di kalangan sementara orang
kematian menimbulkan kecemasan, apalagi bagi mereka yang memandang bahwa hidup
hanya sekali yakni di dunia ini saja. Sehingga tidak sedikit yang pada akhirnya
menilai kehidupan ini sebagai siksaan, dan untuk menghindar dari siksaan itu,
mereka menganjurkan agar melupakan kematian dan menghindari sedapat mungkin
segala kecemasan yang ditimbulkannya dengan jalan melakukan apa saja secara
bebas tanpa kendali, demi mewujudkan eksistensi manusia. Bukankah kematian
akhir dari segala sesuatu? Kilah mereka.
Sebenarnya akal dan
perasaan manusia pada umumnya enggan menjadikan kehidupan atau eksistensi
mereka terbatas pada puluhan tahun saja. Walaupun manusia menyadari bahwa
mereka harus mati, namun pada umumnya menilai kematian buat manusia bukan
berarti kepunahan. Keengganan manusia menilai kematian sebagai kepunahan
tercermin antara lain melalui penciptaan berbagai cara untuk menunjukkan
eksistensinya. Misalnya, dengan menyediakan kuburan, atau tempat-tenapat
tersebut dikunjunginya dari saat ke saat sebagai manifestasi dari keyakinannya
bahwa yang telah meninggalkan dunia itu tetap masih hidup walaupun jasad mereka
telah tiada.
Hubungan antara
yang hidup dan yang telah meninggal amat berakar pada jiwa manusia. Ini
tercermin sejak dahulu kala, bahkan jauh sebelum kehadiran agama-agama besar
dianut oleh umat manusia dewasa ini. Sedemikian berakar hal tersebut sehingga
orang-orang Mesir Kuno misalnya, meyakini benar keabadian manusia, sehingga
mereka menciptakan teknik-teknik yang dapat mengawetkan mayat-mayat mereka
ratusan bahkan ribuan tahun lamanya.
Konon Socrates pernah berkata,
sebagaimana dikutip oleh Asy-Syahrastani dalam bukunya Al-Milal wa An-Nihal
(I:297), "Ketika aku menemukan kehidupan (duniawi) kutemukan bahwa akhir
kehidupan adalah kematian, namun ketika aku menemukan kematian, aku pun
menemukan kehidupan abadi. Karena itu, kita harus prihatin dengan kehidupan
(duniawi) dan bergembira dengan kematian. Kita hidup untuk mati dan mati untuk
hidup."
Demikian gagasan
keabadian hidup manusia hadir bersama manusia sepanjang sejarah kemanusiaan.
Kalau keyakinan orang-orang Mesir Kuno mengantar mereka untuk menciptakan
teknik pengawetan jenazah dan pembangunan piramid, maka dalam pandangan
pemikir-pemikir modern, keabadian manusia dibuktikan oleh karya-karya besar
mereka.
Abdul Karim
Al-Khatib dalam bukunya Qadhiyat Al-Uluhiyah (I:214) mengutip tulisan Goethe (1749-1833 M) yang
menyatakan: "Sesungguhnya usaha sungguh-sungguh yang lahir dari lubuk jiwa
saya, itulah yang merupakan bukti yang amat jelas tentang keabadian. Jika saya
telah mencurahkan seluruh hidup saya untuk berkarya, maka adalah merupakan hak
saya atas alam ini untuk menganugerahi saya wujud baru, setelah kekuatan saya
terkuras dan jasad ini tidak lagi memikul beban jiwa." Demikian filosof
Jerman itu menjadikan kehidupan duniawi ini sebagai arena untuk bekerja keras,
dan kematian merupakan pintu gerbang menuju kehidupan baru guna merasakan
ketenangan dan keterbebasan dari segala macam beban.
2. PANDANGAN AGAMA TENTANG MAKNA KEMATIAN
Agama, khususnya
agama-agama samawi, mengajarkan bahwa ada kehidupan sesudah kematian. Kematian
adalah awal dari satu perjalanan panjang dalam evolusi manusia, di mana selanjutnya
ia akan memperoleh kehidupan dengan segala macam kenikmatan atau berbagai ragam
siksa dan kenistaan. Kematian dalam agama-agama samawi mempunyai peranan yang
sangat besar dalam memantapkan akidah serta menumbuhkembangkan semangat
pengabdian. Tanpa kematian, manusia tidak akan berpikir tentang apa sesudah
mati, dan tidak akan mempersiapkan diri menghadapinya. Karena itu, agama-agama
menganjurkan manusia untuk berpikir tentang kematian. Rasul Muhammad Saw.,
misalnya bersabda, "Perbanyaklah mengingat pemutus segala kenikmatan
duniawi (kematian)."
Dapat dikatakan
bahwa inti ajakan para Nabi dan Rasul setelah kewajiban percaya kepada Tuhan,
adalah kewajiban percaya akan adanya hidup setelah kematian. Dari Al-Quran
ditemukan bahwa kehidupan yang dijelaskannya bermacam-macam dan
bertingkat-tingkat. Ada kehidupan tumbuhan, binatang, manusia, jin, dan
malaikat, sampai ke tingkat tertinggi yaitu kehidupan Yang Mahahidup dan
Pemberi Kehidupan. Di sisi lain, berulang kali ditekankannya bahwa ada
kehidupan di dunia dan ada pula kehidupan di akhirat. Yang pertama dinamai
Al-Quran al-hayat ad-dunya (kehidupan yang rendah), sedangkan yang kedua
dinamainva al-hayawan (kehidupan yang sempurna). "Sesungguhnya negeri
akhirat itu adalah al-hayawan (kehidupan yang sempurna" (QS Al-'Ankabut
[29]: 64).
Dijelaskan pula
bahwa, "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar, sedang akhirat lebih baik
bagi orang-orang bertakwa, dan kamu sekalian (yang bertakwa dan yang tidak)
tidak akan dianiaya sedikitpun (QS Al-Nisa' 14]: 77) Di lain ayat dinyatakan,
"Hai orang-orang yang beriman, mengapa jika dikatakan kepada kamu
berangkatlah untuk berjuang di jalan Allah, kamu merasa berat dan ingin tinggal
tetap di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti
kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini dibanding dengan
akhirat (nilai kehidupan duniawi dibandingkan dengan nilai kehidupan) di
akhirat hanyalah sedikit (QS At-Tawbah [9]: 38). Betapa kehidupan ukhrawi itu
tidak sempurna, sedang di sanalah diperoleh keadilan sejati yang menjadi
dambaan setiap manusia, dan di sanalah diperoleh kenikmatan hidup yang tiada
taranya.
Satu-satunya jalan
untuk mendapatkan kenikmatan dan kesempurnaan itu, adalah kematian, karena
menurut Raghib
Al-Isfahani: "Kematian, yang dikenal sebagai berpisahnya ruh dari badan,
merupakan sebab yang mengantar manusia menuju kenikmatan abadi. Kematian adalah
perpindahan dari satu negeri ke negeri yang lain, sebagaimana dirtwayatkan
bahwa, "Sesungguhnya kalian diciptakan untuk hidup abadi, tetapi kalian
harus berpindah dan satu negen ke negen (yang lain) sehingga kalian menetap di
satu tempat." (Abdul Karim AL-Khatib, I:217) Kematian walaupun
kelihatannya adalah kepunahan, tetapi pada hakikatnya adalah kelahiran yang
kedua. Kematian manusia dapat diibaratkan dengan menetasnya telur-telur. Anak
ayam yang terkurung dalam telur, tidak dapat mencapai kesempurnaan evolusinya
kecuali apabila ia menetas. Demikian juga manusia, mereka tidak akan mencapai
kesempurnaannya kecuali apabila meninggalkan dunia ini (mati).
Ada beberapa
istilah yang digunakan Al-Quran untuk menunjuk kepada kematian, antara lain
al-wafat (wafat), imsak (menahan). Dalam surat Al-Zumar (39): 42 dinyatakan
bahwasanya, "Allah mewafatkan jiwa pada saat kematiannya, dan jiwa orang
yang belum mati dalam tidurnya, maka Allah yumsik (menahan) jiwa yang
ditetapkan baginya kematian, dan melepaskan yang lain (orang yang tidur) sampai
pada batas waktu tertentu." Ar-Raghib menjadikan istilah-istilah tersebut
sebagai salah satu isyarat betapa Al-Quran menilai kematian sebagai jalan
menuju perpindahan ke sebuah tempat, dan keadaan yang lebih mulia dan baik
dibanding dengan kehidupan dunia.
Bukankah kematian
adalah wafat yang berarti kesempurnaan serta imsak yang berarti menahan (di sisi-Nya)?
Memang, Al-Quran juga menyifati kematian sebagai musibah malapetaka (baca surat
Al-Ma-idah [5]: 106), tetapi agaknya istilah ini lebih banyak ditujukan kepada
manusia yang durhaka, atau terhadap mereka yang ditinggal mati. Dalam arti
bahwa kematian dapat merupakan musibah bagi orang-orang yang ditinggalkan
sekaligus musibah bagi mereka yang mati tanpa membawa bekal yang cukup untuk
hidup di negeri seberang.
Kematian juga
dikemukakan oleh Al-Quran dalam konteks menguraikan nikmat-nikmat-Nya kepada manusia.
Dalam surat Al-Baqarah (2): 28 Allah mempertanyakan kepada orang-orang kafir.
"Bagaimana kamu mengingkari (Allah) sedang kamu tadinya mati, kemudian
dihidupkan (oleh-Nya), kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali,
kemudian kamu dikembalikan kepada-Nya." Nikmat yang diakibatkan oleh
kematian, bukan saja dalam kehidupan ukhrawi nanti, tetapi juga dalam kehidupan
duniawi, karena tidak dapat dibayangkan bagaimana keadaan dunia kita yang
terbatas arealnya ini, jika seandainya semua manusia hidup terus-menerus tanpa
mengalami kematian.
Muhammad Iqbal menegaskan bahwa
mustahil sama sekali bagi makhluk manusia yang mengalami perkembangan jutaan
tahun, untuk dilemparkan begitu saja bagai barang yang tidak berharga. Tetapi
itu baru dapat terlaksana apabila ia mampu menyucikan dirinya secara terus
menerus. Penyucian jiwa itu dengan jalan menjauhkan diri dari kekejian dan
dosa, dengan jalan amal saleh. Bukankah Al-Quran menegaskan bahwa,
"Mahasuci Allah Yang di dalam genggaman kekuasaan-Nya seluruh kerajaan,
dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Yang menciptakan mati dan hidup untuk
menguji kamu siapakah di antara kamu yang paling baik amalnya, dan sesungguhnya
Dia Mahamulia lagi Maha Pengampun" (QS Al-Mulk [67]: 1-2).
Demikian terlihat
bahwa kematian dalam pandangan Islam bukanlah sesuatu yang buruk, karena di
samping mendorong manusia untuk meningkatkan pengabdiannya dalam kehidupan
dunia ini, ia juga merupakan pintu gerbang untuk memasuki kebahagiaan abadi,
serta mendapatkan keadilan sejati.
3. KEMATIAN HANYA KETIADAAN HIDUP DI DUNIA
Ayat-ayat Al-Quran
dan hadis Nabi menunjukkan bahwa kematian bukanlah ketiadaan hidup secara
mutlak, tetapi ia adalah ketiadaan hidup di dunia, dalam arti bahwa manusia
yang meninggal pada hakikatnya masih tetap hidup di alam lain dan dengan cara
yang tidak dapat diketahui sepenuhnya. "Janganlah kamu menduga bahwa
orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, tetapi mereka itu hidup di sisi
Tuhannya dengan mendapat rezeki" (QS Ali-'Imran [3]: 169). "Janganlah
kamu mengatakan terhadap orang-orang yang meninggal di jalan Allah bahwa
'mereka itu telah mati,' sebenarnya mereka hidup, tetapi kamu tidak
menyadarinya" (QS Al-Baqarah [2]: 154).
Imam Bukhari
meriwayatkan melalui sahabat Nabi Al-Bara' bin Azib, bahwa Rasulullah Saw.,
bersabda ketika putra beliau, Ibrahim, meninggal dunia, "Sesungguhnya
untuk dia (Ibrahim) ada seseorang yang menyusukannya di surga." Sejarawan
Ibnu Ishak dan lain-lain meriwayatkan bahwa ketika orang-orang musyrik yang
tewas dalam peperangan Badar dikuburkan dalam satu perigi oleh Nabi dan
sahabat-sahabatnya, beliau "bertanya" kepada mereka yang telah tewas
itu, "Wahai penghuni perigi, wahai Utbah bin Rabi'ah, Syaibah bin Rabi'ah,
Ummayah bin Khalaf; Wahai Abu Jahl bin Hisyam, (seterusnya beliau menyebutkan
nama orang-orang yang di dalam perigi itu satu per satu). Wahai penghuni
perigi! Adakah kamu telah menemukan apa yang dijanjikanTuhanmu itu benar-benar
ada? Aku telah mendapati apa yang telah dijanjikan Tuhanku." "Rasul.
Mengapa Anda berbicara dengan orang yang sudah tewas?" Tanya para sahabat.
Rasul menjawab: "Ma antum hi asma' mimma aqul minhum, walakinnahum la
yastathi'una an yujibuni (Kamu sekalian tidak lebih mendengar dari mereka,
tetapi mereka tidak dapat menjawabku)." Demikian beberapa teks keagamaan
yang dijadikan alasan untuk membuktikan bahwa kematian bukan kepunahan, tetapi
kelahiran dan kehidupan baru.
4. MENGAPA TAKUT MATI?
Di atas telah
dikemukakan beberapa faktor yang menyebabkan seseorang merasa cemas dan takut
terhadap kematian. Di sini akan dicoba untuk melihat lebih jauh betapa sebagian
dari faktor-faktor tersebut pada hakikatnya bukan pada tempatnya. Al-Quran
seperti dikemukakan berusaha menggambarkan bahwa hidup di akhirat jauh lebih
baik daripada kehidupan dunia. "Sesungguhnya akhirat itu lebih baik
untukmu daripada dunia" (QS Al-Dhuha [93]: 4). Musthafa Al-Kik menulis
dalam bukunya Baina Alamain bahwasanya kematian yang dialami oleh manusia dapat
berupa kematian mendadak seperti serangan jantung, tabrakan, dan sebagainya,
dan dapat juga merupakan kematian normal yang terjadi melalui proses menua
secara perlahan. Yang mati mendadak maupun yang normal, kesemuanya mengalami
apa yang dinamai sakarat al-maut (sekarat) yakni semacam hilangnya kesadaran
yang diikuti oleh lepasnya ruh dan jasad.
Dalam keadaan mati
mendadak, sakarat al-maut itu hanya terjadi beberapa saat singkat, yang
mengalaminya akan merasa sangat sakit karena kematian yang dihadapinya ketika
itu diibaratkan oleh Nabi Saw.- seperti "duri yang berada dalam kapas, dan
yang dicabut dengan keras." Banyak ulama tafsir menunjuk ayat Wa nazi'at
gharqa (Demi malaikat-malaikat yang mencabut nyawa dengan keras) (QS An-Nazi'at
[79]: 1), sebagai isyarat kematian mendadak. Sedang lanjutan ayat surat
tersebut yaitu Wan nasyithati nasytha (malaikat-malaikat yang mencabut ruh
dengan lemah lembut) sebagai isyarat kepada kematian yang dialami secara
perlahan-lahan.
Kematian yang
melalui proses lambat itu dan yang dinyatakan oleh ayat di atas sebagai
"dicabut dengan lemah lembut, "sama keadaannya dengan proses yang
dialami seseorang pada saat kantuk sampai dengan tidur. Surat Al-Zumar (39): 42
yang dikutip sebelum ini mendukung pandangan yang mempersamakan mati dengan
tidur. Dalam hadis pun diajarkan bahwasanya tidur identik dengan kematian.
Bukankah doa yang diajarkan Rasulullah Saw. untuk dibaca pada saat bangun tidur
adalah: "Segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami (membangunkan dari
tidur) setelah mematikan kami (menidurkan). Dan kepada-Nya jua kebangkitan (kelak)."
Pakar tafsir Fakhruddin Ar-Razi, mengomentari
surat Al-Zumar (39): 42 sebagai berikut: "Yang pasti adalah tidur dan mati
merupakan dua hal dari jenis yang sama. Hanya saja kematian adalah putusnya
hubungan secara sempurna, sedang tidur adalah putusnya hubungan tidak sempurna
dilihat dari beberapa segi. "Kalau demikian. mati itu sendiri "lezat
dan nikmat," bukankah tidur itu demikian? Tetapi tentu saja ada
faktor-faktor ekstern yang dapat menjadikan kematian lebih lezat dari tidur
atau menjadikannya amat mengerikan melebihi ngerinya mimpi-mimpi buruk yang
dialami manusia.
Faktor-faktor
ekstern tersebut muncul dan diakibatkan oleh amal manusia yang diperankannya
dalam kehidupan dunia ini Nabi Muhammad Saw. dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad menjelaskan bahwa, "Seorang mukmin, saat
menjelang kematiannya, akan didatangi oleh malaikat sambil menyampaikan dan
memperlihatkan kepadanya apa yang bakal dialaminya setelah kematian. Ketika itu
tidak ada yang lebih disenanginya kecuali bertemu dengan Tuhan (mati). Berbeda
halnya dengan orang kafir yang juga diperlihatkannya kepadanya apa yang bakal
dihadapinya, dan ketika itu tidak ada sesuatu yang lebih dibencinya daripada
bertemu dengan Tuhan.
"Dalam surat
Fushshilat (41): 30 Allah berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang
mengatakan bahwa Tuhan kami ialah Allah, kemudian mereka meneguhkan pendirian
mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), 'Janganlah
kamu merasa takut dan jangan pula bersedih, serta bergembiralah dengan surga
yang dijanjikan Allah kepada kamu.' "Turunnya malaikat tersebut menurut
banyak pakar tafsir adalah ketika seseorang yang sikapnya seperti digambarkan
ayat di atas sedang menghadapi kematian. Ucapan malaikat, "Janganlah kamu
merasa takut" adalah untuk menenangkan mereka menghadapi maut dan sesudah
maut, sedang "jangan bersedih" adalah untuk menghilangkan kesedihan
mereka menyangkut persoalan dunia yang ditinggalkan seperti anak, istri, harta,
atau hutang.
Sebaliknya Al-Quran
mengisyaratkan bahwa keadaan orang-orang kafir ketika menghadapi kematian sulit
terlukiskan: "Kalau sekiranya kamu dapat melihat malaikat-malaikat
mencabut nyawa orang-orang yang kafir seraya memukul muka dan belakang mereka
serta berkata, 'Rasakanlah olehmu siksa neraka yang membakar' (niscaya kamu
akan merasa sangat ngeri)" (QS Al-Anfal [8]: 50) "Alangkah dahsyatnya
sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada dalam
tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya
sambil berkata, 'Keluarkanlah nyawamu! Di hari ini, kamu dibalas dengan siksaan
yang sangat menghinakan karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah perkataan
yang tidak benar, dan karena kamu selalu menyombongkan diri terhadap
ayat-ayat-Nya" (QS Al-An'am [6]: 93).
Di sisi lain,
manusia dapat "menghibur" dirinya dalam menghadapi kematian dengan
jalan selalu mengingat dan meyakini bahwa semua manusia pasti akan mati. Tidak
seorang pun akan luput darinya, karena "kematian adalah risiko
hidup." Bukankah Al-Quran menyatakan bahwa, "Setiap jiwa akan
merasakan kematian?" (QS Ali 'Imran [3]: 183) "Kami tidak
menganugerahkan hidup abadi untuk seorang manusiapun sebelum kamu. Apakah jika
kamu meninggal dunia mereka akan kekal abadi? (QS Al-Anbiya' [21]: 34)
Keyakinan akan kehadiran maut bagi setiap jiwa dapat membantu meringankan beban
musibah kematian. Karena, seperti diketahui, "semakin banyak yang terlibat
dalam kegembiraan, semakin besar pengaruh kegembiraan itu pada jiwa;
sebaliknya, semakin banyak yang tertimpa atau terlibat musibah, semakin ringan
musibah itu dipikul."
Demikian Al-Quran
menggambarkan kematian yang akan dialami oleh manusia taat dan durhaka, dan
demikian kitab suci irõi menginformasikan tentang kematian yang dapat mengantar
seorang mukmin agar tidak merasa khawatir menghadapinya. Sementara, yang tidak
beriman atau yang durhaka diajak untuk bersiap-siap menghadapi berbagai ancaman
dan siksaan. Semoga kita semua mendapatkan keridhaan Ilahi dan surga-Nya.