Rabu, 12 Juni 2013

Islam Dan Etos Kerja Dalam Konteks Pengembagan Diri



A.   PENDAHULUAN
Salah satu yang menyebabkan Indonesia terpuruk secara ekonomi seperti saat ini adalah kurangnya etos kerja dalam diri manusianya. Ini membuat miris, padahal lebih 80% rakyatnya beragama Islam. Padahal Islam amat menganjurkan pemeluknya untuk bekerja dan memanfaatkan waktu secara efektif. Salah satu tokoh Islam Ali bin Abi Thalib mengatakan: waktu itu ibarat mata pedang, bila tak dimanfaatkan dengan baik ia akan melukai diri sendiri. Al- Qur’an juga menegaskan kepada kita, “apabila telah selesai dari suatu pekerjaan tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain).
Islam di antara agama-agama yang ada di dunia, adalah satu-satunya agama yang menjunjung tinggi nilai kerja. Ketika masyarakat dunia pada umumnya menempatkan kelas pendeta dan kelas militer di tempat yang tinggi, Islam menghargai orang-orang yang berilmu, petani, pedagang, tukang dan pengrajin. Sebagai manusia biasa, mereka tidak diunggulkan dari yang lain, karena Islam menganut nilai persamaan di antara sesama manusia di hadapan manusia. Ukuran ketinggian derajat adalah ketakwaannya kepada Allah, yang diukur dengan iman dan amal salihnya
Tidak sempurna memahami atau salah memahami ajaran justru akan membuat penganut ajaran tersebut terperangkap dalam pandangan dan praktek di luar ajaran. Memahami Islam hanya sebatas ritual ‘ubudiyyah atau upacara peribadatan yang sempit ternyata mengakibatkan tidak sedikit muslim mengabaikan banyak tuntunan yang disampaikan Islam lewat dua sumber utamanya, yaitu: Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Allah Ta’ala berfirman: “Dan kami turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri (muslim).” (QS An Nahl : 89).
Istilah kerja dalam Islam bukanlah semata-mata merujuk kepada mencari rezeki untuk menghidupi diri dan keluarga dengan menghabiskan waktu siang maupun malam, dari pagi hingga sore, terus menerus tak kenal lelah, tetapi kerja mencakup segala bentuk amalan atau pekerjaan yang mempunyai unsur kebaikan dan keberkahan bagi diri, keluarga dan masyarakat sekelilingnya serta negara. Dengan kata lain, orang yang berkerja adalah mereka yang menyumbangkan jiwa dan tenaganya untuk kebaikan diri, keluarga, masyarakat dan negara tanpa menyusahkan orang lain. Oleh karena itu, kategori ahli Syurga seperti yang digambarkan dalam Al-Qur’an bukanlah orang yang mempunyai pekerjaan/jabatan yang tinggi dalam suatu perusahaan/instansi sebagai manajer, direktur, teknisi dalam suatu bengkel dan sebagainya. Tetapi sebaliknya Al-Quran menggariskan golongan yang baik lagi beruntung (al-falah) itu adalah orang yang banyak taqwa kepada Allah, khusyu sholatnya, baik tutur katanya, memelihara pandangan dan kemaluannya serta menunaikan tanggung jawab sosialnya seperti mengeluarkan zakat dan lainnya (QS Al Mu’minun : 1 – 11). Salah satu contoh : terdiri dari pegawai, supir, tukang sapu ataupun seorang yang tidak mempunyai pekerjaan tetap Sifat-sifat di ataslah sebenarnya yang menjamin kebaikan dan kedudukan seseorang di dunia dan di akhirat kelak. Jika membaca hadits-hadits Rasulullah SAW tentang ciri-ciri manusia yang baik di sisi Allah, maka tidak heran bahwa diantara mereka itu ada golongan yang memberi minum anjing kelaparan, mereka yang memelihara mata, telinga dan lidah dari perkara yang tidak berguna, tanpa melakukan amalan-amalan sunnah dan Al-Qur’an yang sesuai dengan kaidahnya.
B.   ISLAM DAN ETOS KERJA
Agama Islam yang berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai tuntunan dan pegangan bagi kaum muslimin mempunyai fungsi tidak hanya mengatur dalam segi ibadah saja melainkan juga mengatur umat dalam memberikan tuntutan dalam masalah yang berkenaan dengan kerja.
Rasulullah SAW bersabda: “bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya, dan beribadahlah untuk akhiratmu seakan-akan kamu mati besok.” Dalam ungkapan lain dikatakan juga, “Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah, Memikul kayu lebih mulia dari pada mengemis, Mukmin yang kuat lebih baik dari pada mukslim yang lemah. Allah menyukai mukmin yang kuat bekerja.” Nyatanya kita kebanyakan bersikap dan bertingkah laku justru berlawanan dengan ungkapan-ungkapan tadi.
Pengertian etos kerja. Etos berasal dari bahasa Yunani (ethos) yang memberikan arti sikap, kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat. Etos dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh budaya, serta sistem nilai yang diyakininya. Dari kata etos ini, dikenal pula kata etika, etiket yang hampir mendekati pada pengertian akhlak atau nilai-nilai yang berkaitan dengan baik buruk (moral), sehingga dalam etos tersebut terkandung gairah atau semangat yang amat kuat untuk menyempurnakan sesuatu secara optimal, lebih baik, dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang sesempurna mungkin. (htpp.///www.pintani’a blog.com)
Abu Hamid memberikan pengertian bahwa etos adalah sifat, karakter, kualitas hidup, moral dan gaya estetika serta suasana hati seseorang masyarakat. Kemudian mengatakan bahwa etos berada pada lingkaran etika dan logika yang bertumpuk pada nilai-nilai dalam hubungannya pola-pola tingkah laku dan rencana-rencana manusia. Etos memberi warna dan penilaian terhadap alternatif pilihan kerja, apakah suatu pekerjaan itu dianggap baik, mulia, terpandang, salah dan tidak dibanggakan.
Dengan menggunakan kata etos dalam arti yang luas, yaitu pertama sebagaimana sistem tata nilai mental, tanggung jawab dan kewajiban. Akan tetapi perlu dicatat bahwa sikap moral berbeda dengan etos kerja, karena konsep pertama menekankan kewajiban untuk berorientasi pada norma sebagai patokan yang harus diikuti. Sedangkan etos ditekankan pada kehendak otonom atas kesadaran sendiri, walaupun keduanya berhubungan erat dan merupakan sikap mental terhadap sesuatu. Padahal dalam situasi globalisasi saat ini, kita dituntut untuk menunjukkan etos kerja yang tidak hanya rajin, gigih, setia, akan tetapi senantiasa menyeimbangkan dengan nilai-nilai Islami yang tentunya tidak boleh melampaui rel-rel yang telah ditetapkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Dalam al-Qur’an dikenal kata itqon yang berarti proses pekerjaan yang sungguh-sungguh, akurat dan sempurna. (An-Naml : 88). Etos kerja seorang muslim adalah semangat untuk menapaki jalan lurus, dalam hal mengambil keputusan pun, para pemimpin harus memegang amanah terutama para hakim. Hakim berlandaskan pada etos jalan lurus tersebut sebagaimana Dawud ketika ia diminta untuk memutuskan perkara yang adil dan harus didasarkan pada nilai-nilai kebenaran, maka berilah keputusan (hukumlah) di antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjuklah (pimpinlah) kami ke jalan yang lurus (QS. Ash Shaad : 22)
Maka pengertian etos kerja tersebut, menunjukan bahwa antara satu dengan yang lainnya memberikan pengertian yang berbeda namun pada prinsipnya mempunyai tujuan yang sama yakni terkonsentrasi pada sikap dasar manusia, sebagai sesuatu yang lahir dari dalam dirinya yang dipancarkan ke dalam hidup dan kehidupannya. Kerja secara etimologi diartikan (1) sebagai kegiatan melakukan seseuatu, (2) sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah. Etos kerja menurut Abdullah, adalah “alat dalam pemilihan”. Definisi yang dikemukakan tersebut lebih meletakkan manusia sebagai makhluk Tuhan yang mempunyai keistimewaan tersendiri, diantaranya adalah kemampuan untuk bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini terkandung pula makna bahwa manusia adalah makhluk yang mempunyai keharusan untuk bekerja dan merupakan hal yang istimewa yang tidak dimiliki oleh makhluk lain.
C.   PENGEMBANGAN DIRI
Semua agama, ialah jalan kebenaran, bahkan sains pun diarahkan untuk mengungkapkan jati diri manusia. Manusia yang mengenali dirinya dengan baik, maka akan mampu mengatur kehidupan di dunia ini dengan baik. Sesungguhnya manusia diberi potensi yang bisa mendorong dirinya pada perbuatan baik maupun buruk. Menghilangkan potensi dalam diri tentu tidak baik. Maka yang baik adalah mengendalikan dan mengarahkan agar menjadi motivator pada arah yang diridloi Allah. Jika seseorang sanggup berbuat hal yang demikian berarti manusia itu memiliki kecerdasan dan pengembangan diri dengan baik.
Secara global, dapat dikatakan bahwa Islam mengatur seluruh kehidupan kaum muslim. Seluruh ajaran Islam adalah agama sistem, agama penataan (pengembangan) dan disiplin. Ini semua menjadi landasan bagi setiap aktivitas dalam Islam, dan setiap muslim dituntut untuk melaksanakan sistem tersebut serta komitmen padanya dalam berbagai urusan, baik yang besar maupun kecil. Jika sesorang telah mampu memahami dan mengenal dengan baik tentang dirinya baik dari aspek jasmani maupun rohani, maka akan dapat merasakan fungsi potensi dari dirinya. Kekuatan serta potensi mengenal secara mendalam tentang eksisitensi jasmani dan rohani dapat dicapai melalui bimbingan dan pengajaran Allah yang dihasilkan dari esensi ketakwaan dan penghambaan yang sangat tinggi.
pengembangan diri dalam Islam sebenarnya sangat signifikan dalam membentuk manusia yang berakhlakul karimah, dengan membantu seseorang menjaga atau mencegah timbulnya berbagai masalah bagi dirinya sendiri, membantu individu memecahkan berbagai persoalan, membantu individu untuk menjaga agar situasi dan kondisi yang telah baik dapat bertahan, dan membantu individu terus mengembangkan kondisi yang telah baik menjadi terus lebih baik dari waktu kewaktu hingga terlatih menghadapi putaran kehidupan sehingga mampu tercapai kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat. (Skripsi UIN Yogyakarta: Tego Slamet “ Manajemen diri dalam Islam”)
Namun pengembangan diri merupakan bentuk perwujudan dari aktualisasi diri, yaitu proses untuk mewujudkan dirinya yang terbaik sejalan dengan potensi dan kemampuan yang dimilikinya. Setiap individu mempunyai kekuatan yang bersumber dari dirinya, namun banyak orang yang merasa tidak mempunyai kemampuan apa-apa, merasa dirinya tidak berguna dan tidak mampu mencapai aktualisasi diri.
Tidak banyak orang yang mengetahui nilai dirinya istilahnya self value. Nilai diri adalah hal-hal yang kita paling kita hargai dalam hidup. Bentuknya dalam satu kata sifat atau benda, misalnya: keluarga, kerjasama, sinergi, persahabatan, kerja keras, dll. Nilai diri ini mempengaruhi situasi hidup kita. Sebagai contoh, jika nilai diri Anda adalah keluarga, pastinya kemana pun Anda pergi Anda akan selalu kembali ke keluarga. Bagi Anda, keluarga adalah nomor satu. Uang yang Anda hasilkan dari pekerjaan akan Anda berikan sepenuhnya pada keluarga. Anda pun akan cemas jika ada sesuatu yang mengancam kestabilan keluarga Anda.
Fase pengembangan diri sesungguhnya merupakan tujuan yang diharapkan dari proses pengenalan diri. Pengembangan diri itu sendiri merupakan proses pertumbuhan yang terjadi secara terus-menerus, berkembang dan selalu berada dalam kemantapan hati demi suatu perbaikan, pengoptimalan potensi-potensi yang dimiliki dan usaha meminimalkan kekurangan-kekurangan yang ada.
Pengembangan diri juga merupakan suatu usaha individu untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri. Kebutuhan aktualisasi diri itu sendiri merupakan kebutuhan puncak/ tertinggi (meta needs) diantara kebutuhan-kebutuhan manusia menurut versi Abraham Maslow. Kebutuhan-kebutuhan dibawahnya adalah fisiologis (dasar) (physiological needs), kebutuhan akan rasa aman (safety needs), kebutuhan akan kasih sayang (love and belonging needs), dan kebutuhan akan harga diri (self esteem needs).
Sedangkan versi Mc Clelland, pengembangan diri bisa dikategorikan pada usaha pemenuhan kebutuhan untuk berprestasi (dikenal dengan n’Achneed for achievement). Prestasi disini adalah dalam pengertian luas, tidak sekedar dibatasi lingkup akademis (seperti nilai, Indeks Prestasi), namun juga termasuk prestasi-prestasi dalam bentuk lain yang memberikan kontribusi positif bagi individu yang bersangkutan maupun bagi masyarakat luas. Dengan kata lain, individu yang senantiasa melakukan pengembangan diri akan senantiasa dimotivasi oleh keinginannya untuk mencetak prestasi-prestasi baru. Dengan demikian individu tersebut juga senantiasa berada pada posisi pengaktualisasian-pengaktualisasian diri yang tidak sekedar to be or not to be, tetapi becoming or unbecoming. Melalui pemuasan kebutuhan aktualisasi diri, keberadaan manusia tidak pernah menjadi suatu kondisi yang tetap, tetapi menjadi sesuatu yang selalu berkembang. (http.////wwww.aspat konseling.com).
D.   PEMBAHASAN
Membicarakan etos kerja dalam Islam, berarti menggunakan dasar pemikiran bahwa Islam, sebagai suatu sistem keimanan, tentunya mempunyai pandangan tertentu yang positif terhadap masalah etos kerja. Adanya etos kerja yang kuat memerlukan kesadaran pada orang bersangkutan tentang kaitan suatu kerja dengan pandangan hidupnya yang lebih menyeluruh, yang pandangan hidup itu memberinya keinsafan akan makna dan tujuan hidupnya. Dengan kata lain, seseorang agaknya akan sulit melakukan suatu pekerjaan dengan tekun jika pekerjaan itu tidak bermakna baginya, dan tidak bersangkutan dengan tujuan hidupnya yang lebih tinggi, langsung ataupun tidak langsung.
Menurut Nurcholish Madjid, etos kerja dalam Islam adalah hasil suatu kepercayaan seorang Muslim, bahwa kerja mempunyai kaitan dengan tujuan hidupnya, yaitu memperoleh perkenan Allah swt. Berkaitan dengan ini, penting untuk ditegaskan bahwa pada dasarnya, Islam adalah agama amal atau kerja (praxis). Inti ajarannya ialah bahwa hamba mendekati dan berusaha memperoleh ridha Allah melalui kerja atau amal saleh, dan dengan memurnikan sikap penyembahan hanya kepada-Nya. (http.///www.jurnal mentari.com)
Toto Tasmara, dalam bukunya Etos Kerja Pribadi Muslim, menyatakan bahwa “bekerja” bagi seorang Muslim adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh, dengan mengerahkan seluruh asset, fakir dan zikirnya untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang harus menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik (khaira ummah), atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa dengan bekerja manusia itu memanusiakan dirinya. (http.///www.jurnal mentari)
Salah satu bagian dari syari’at Islam adalah kewajiban bekerja, dan keharaman berpangku tangan serta bermalas-malasan bagi orang yang berkemampuan untuk bekerja. Allah Ta’ala berfirman: “Dan katakanlah, Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang yang mu’min, dan kamu akan dikembalikan kepada [Allah] Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakannya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (At Taubah : 105).
Sehingga  kemulian seorang manusia bergantung kepada apa yang dilakukannya. Dengan itu, sesuatu amalan pekerjaan yang mendekatkan seseorang kepada allah adalah sangat penting serta patut  untuk diberi perhatian. Amalan dan pekerjaan  yang  demikian  selain  memperoleh  keberkahan serta kesenangan dunia juga ada yang lebih penting  yaitu mencari  jalan atau bahasa gaul mencari tiket menuju akhirat dengan menentukan kehidupan yang lebih baik.
Ada bebera ayat Al-Qur’an yang ada kaitan dengan etos kerja :
šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# 4n1qèÛ óOßgs9 ß`ó¡ãmur 5>$t«tB ÇËÒÈ  
Artinya : “ Orang-orang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagian dan tempat kembali yang baik “. (Q.S. AL-Ra’du:29).
Kerja menurut islam merupakan tindakan yang agung, tinggi dan mulia. Ia merupakan dasar dari setiap orang yang bersungguh-sungguh dan jalan menuju kesuksesan. Tanpa bekerja manusia tidak bisa maju dan merasakan nikmatnya hidup dan dengan bekerja manusia bisa hidup dengan tenang. Serta dengan dengan semangat bekerja dengan penggangguran bia berkurang. Dengan bekerja harta seseorang bisa bertambah, pemasukan bisa dipredeksi, dan manusia bisa selamat dihadapan allah diakhirat nanti dengan syarat bekerja diridhoi dan benarkan syariat islam dan allah benci pada seseorang yang mengganggur. Pakar ilmu jiwa berkata, “ Apabila kamu khendak menghukum seseorang, maka orang tersebut harus lepas dari pekerjaannya “. (Refrensi dari majalah risalah Jum’at).
            Kerja menurut Al-Qur’an mempunyai obyek ganda sehingga kerja untuk dunia dan kerja (amal perbuatan) untuk akhirat. Ibnu Umar berkata  : “Kerjakanlah urusan duniamu seakan-akan kamu akan hidup selama-lamanya, dan bekerjalah urusan akhiratmu seakan-akan kamu akan mati besok”. Karena itu Al-Qur’an menyejajarkan amal shaleh dengan iman dan dijadikan argumentasi sekaligus tanda pembenaran. Karena iman merupakan pengakuan dalam dada dan pembenarannya adalah amal (praktik kerja).
            Berurang kali ayat Al-Qur’an menyatakan ada kurang lebih empat puluh satu surat yang mensejajarkan antara iaman dengan amal shaleh. Bekerja atau beramal shaleh tidak akan mengurangi nilai ibadah, zikir, tasbih, tahmid, tahlil dan sebagainya. Maksudnya setiap kebijakan bisa untuk diri pribadi seseorang, keluarga dan masyarakat. Karena itu, Al-Qur’an sangat menganjurkan bekerja dan beramal shaleh dan jelas diterima amalnya disisi allah. Allah swt  berfirman:
`tB tb%x. ߃̍ムno¨Ïèø9$# ¬Tsù äo¢Ïèø9$# $·èÏHsd 4 Ïmøs9Î) ßyèóÁtƒ ÞOÎ=s3ø9$# Ü=Íh©Ü9$# ã@yJyèø9$#ur ßxÎ=»¢Á9$# ¼çmãèsùötƒ 4 z`ƒÏ%©!$#ur tbrãä3ôJtƒ ÏN$t«ÍhŠ¡¡9$# öNçlm; Ò>#xtã ÓƒÏx© ( ãõ3tBur y7Í´¯»s9'ré& uqèd âqç7tƒ ÇÊÉÈ  

Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, Maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras. dan rencana jahat mereka akan hancur. (Qs. Al-Fathir:10)
Sehingga ahli tafsir mengatakan bahwa Perkataan yang baik itu ialah kalimat tauhid Yaitu laa ilaa ha illallaah; dan ada pula yang mengatakan zikir kepada Allah dan ada pula yang mengatakan semua Perkataan yang baik yang diucapkan karena Allah.
Maksudnya ialah bahwa Perkataan baik dan amal yang baik itu dinaikkan untuk diterima dan diberi-Nya pahala.
ôs)s9ur $oYö;tFŸ2 Îû Íqç/¨9$# .`ÏB Ï÷èt/ ̍ø.Ïe%!$# žcr& uÚöF{$# $ygèO̍tƒ yÏŠ$t6Ïã šcqßsÎ=»¢Á9$# ÇÊÉÎÈ  
Dan sungguh telah Kami tulis didalam Zabur sesudah (kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hambaKu yang saleh. (Qs. Al-Anbiya:105).
Yang dimaksud dengan Zabur di sini ialah seluruh kitab yang diturunkan Allah kepada nabi-nabi-Nya. sebahagian ahli tafsir mengartikan dengan kitab yang diturunkan kepada Nabi Daud a.s. dengan demikian Adz Dzikr artinya adalah kitab Taurat.
Dari beberapa pendapat dan pemahaman penulis tentang ayat Al-Qur’an di atas, maka dapat dipahami bahwa etos kerja dalam Islam terkait erat dengan nilai-nilai (values) yang terkandung dalam  dan Al-Sunnah atau Al-Qur’an tentang “kerja” yang dijadikan sumber inspirasi dan motivasi oleh setiap Muslim untuk melakukan aktivitas kerja di berbagai bidang kehidupan. Cara mereka memahami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai  dan Al-Sunnah dan Al-Qur’an tentang dorongan untuk bekerja itulah yang membentuk etos kerja Islam. Sehingga Al-Qur’an mendorong manusia agar melakukan pekerjaan yang bisa memaksimalkan dunia, dan mempunyai usaha sebagai azas pencapaian rezeki dalam penghidupannya sebagai modal hidup di akhirat kelak.
E.   KESIMPULAN
Dari pemaparan diatas , tentunya penulis mencoba memberikan anilisis tentang “ ISLAM DAN ETIKA SOSIAL DALAM  KONTEKS  PENGEMBANGAN DIRI”  ADALAH   merupakan langkah unutuk mencoba   Sebenarnya,etos kerja” dalam perspektif Islam adalah seperangkat “nilai-nilai etis” yang terkandung dalam ajaran Islam – Alquran dan Alsunnah – tentang keharusan dan keutamaan bekerja, yang digali dan dikembangkan secara sungguh-sungguh oleh umat Islam dari masa ke masa, dan itu sangat mempengaruhi tindakan dan kerja-kerjanya di berbagai bidang kehidupan dalam mencapai hasil yang diharapkan lebih baik dan produktif.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ajaran Islam sejelas-jelasnya memberikan inspirasi dan motivasi kepada umat Islam agar bekerja sebaik-baiknya untuk mencapai hasil yang terbaik, dan ini tentunya dengan tidak mengabaikan landasan etis atau prinsip-prinsip dasar dan umum yang ada di dalam ajaran Islam. Yang perlu diingat, etos kerja Islami dapat terhambat oleh sistem pemerintahan yang feodal, otoriter dan represif terhadap rakyat. Oleh karena itu, etos kepemimpinan di dunia Islam khususnya, harus dibenahi dengan pemahaman yang utuh terhadap etos kerja dalam ajaran Islam.
Etos kerja dalam Islam yang perlu diperhatikan adalah Adanya keterkaitan individu terhadap Allah sehingga menuntut individu untuk bersikap cermat dan bersungguh-sungguh dalam bekerja, berusaha keras memperoleh keridhaan Allah dan mempunyai hubungan baik dengan relasinya. Berusaha dengan cara yang halal dalam seluruh jenis pekerjaan. Tidak memaksakan seseorang, alat-alat produksi atau binatang dalam bekerja, semua harus dipekerjakan secara professional dan wajar. Tidak melakukan pekerjaan yang mendurhakai Allah yang ada kaitannya dengan minuman keras, riba dan hal-hal lain yang diharamkan Allah. Professionalisme dalam setiap pekerjaan.







Tidak ada komentar: