Rabu, 12 Juni 2013

driku bagaikan lukisan cinta....di iringi kicauan burung nan mrdu...ombak pun menerjang deras....angin pun mnghembus jiwa raga kuuuuu..........???

Memecah rindu sang punjagga
Dalam ayunan pena yang memanja
Menggoreskan keabadian sjarah melalui sajak2 cinta

Senja di lautan biru menorehkan kedamaian...
Menceritakan kisah2 asmara
Memberi mimpi2 dlam kesunyian
Mencerahkan hati yang telah berbahagia...

Memuramkan hati yang tlah patah hati
Tangan2 pujangga telah mengubah suara hati para pecinta
Menjadi syair2 indah dalam sejarah....

Senja di lautan bru menjdi saksi kisah cinta anak adam,kebhagiaan,kedukaan
Dilukis melalui goresan pena hitam
Dalam kumpulan sajak sang pengalam...

Strategi Dalam Pengembangan Masyarakat




A.     Pendahuluan
Pelaksanaan pengembangan masyarakat, seperti yang disampaikan oleh Rothman (1979) meliputi 3 (tiga) model, yaitu: Locality Development, Social Planning, dan Social Action, yang secara teoretis dapat dibedakan. Dalam pelaksanaannya, ketiga model tersebut dapat digunakan secara integral dalam serangkaian program pengembangan masyarakat, dan dapat pula digunakan secara parsial untuk sebuah kegiatan intervensi.
Apapun model pengembangan masyarakat yang digunakan, maka pelaksanaannya sangat dipengaruhi oleh kondisi masalah dan dan kondisi masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, strategi perubahan yang akan digunakan akan berbeda pula; tergantung pada kondisi masyarakat yang selanjutnya disesuaikan dengan asumsi-asumsi yang mendasari setiap strategi. Menurut Erlich, setidaknya strategi akan berisi rencana aksi (action idea) ataupun rencana proses (process idea), yang akan memandu dalam mengarah kepada tujuan. Oleh karena itu, strategi bersifat dinamis, dan bergantung kepada assessment terhadap peran dan perilaku pihak lain yang terlibat.

Pentingnya strategi bagi para praktisi pengembangan masyarakat tidak dapat dipungkiri. Tanpa strategi, ideologi dan komitmen mereka menjadi hanya omong kosong, dan aksi tanpa strategi tidak berguna. Hanya melalui pertimbangan berbagai alternatif yang dipikirkan secara matang dan memperhatikan aspek pragmatisnya dapat dibuat evaluasi yang rasional terhadap berbagai rencana aksi, serta memperhatikan kekuatan dan kelemahan dari strategi tersebut. Atas dasar strategi yang ditentukan, maka teknik-teknik yang dibutuhkan dapat ditetapkan untuk menerapkan strategi tersebut.

B.     Elemen-elemen Dasar Strategi
Pemahaman yang komprehensif dari konsep strategi, akan dapat diperoleh melalui penelaahan elemen-elemennya. Menurut Erlich elemen-elemen tersebut adalah strategi sebagai suatu tujuan (as a goals), sebagai teknik pengaturan (as orchestration), sebagai perpaduan antara taktik konsensus dan konflik (as an amalgam conflict and consensus tactics), sebagai suatu fenomena tugas dan proses (as task-process phenomenon), serta sebagai suatu pilinan alat-tujuan (as means-ends spiral).

Strategi sebagai suatu tujuan. Pada dasarnya, strategi dipandang sebagai sebuah upaya yang diatur untuk mempengaruhi seseorang atau suatu sistem dalam hubungannya dengan tujuan yang diinginkan oleh seorang pelaku. Makna “diatur” dalam pengertian bahwa suatu usaha dibuat untuk memperhitungkan aksi dan reaksi pada pihak lain yang menjadi pendukung dalam pencapaian tujuan. Tujuan yang diinginkan itu cenderung bersifat umum, seperti suatu “keadaan sistem” tertentu yang diinginkan oleh agen perubahan. Hal ini sering disebut “strategic intent” (Hamel and Prahalad, 1989). Namun mengartikulasikan strategic intent ini bukan pekerjaan mudah, karena setidaknya terdapat beberapa kesulitan, diantaranya:
1.      Pengartikulasian Tujuan, yaitu dalam memilih dan mengartikulasi tujuan pada tingkat pengertian publik yang memungkinkan untuk dicapai, serta memungkinkan publik mengetahui kapan mereka sudah mencapainya. Dengan demikian, membuat spesifik dan lebih konkrit tujuan strategis yang umum merupakan bagian yang penting dalam proses pengembangan masyarkat.
2.      Substitusi Ideologi, Sulitnya mengartikulasikan dan menspesifikan komitmen ideologis, beberapa nilai umum disubstitusikan untuk tujuan aktual. Akibatnya praktisi menjadi “true believers”. Komitmen seharusnya menjadi puncak bagi believers. Tanpa komitmen kemajuan sulit didapat.
3.      Menyepelekan Tujuan, Dengan sulitnya tujuan dibuat spesifik, penggantian alat/cara untuk pencapaian tujuan menjadi tidak biasa. Ini disebut “means rituals”.
4.       Pengukuran tujuan, Bagian dari masalah yang dihadapai adalah pencapaian dan penyelesaian tujuan sulit diukur. Padahal tanpa pengukuran, tujuan menjadi lemah.

Strategi sebagai Teknik Pengaturan Strategi dimaksudkan sebagai suatu “pengaturan” yang dramatis, dimana setiap orang tampil dengan keterampilan dan peran yang berbeda, serta mengikuti rencana aksi. Yang dilakukan setiap orang berkaitan dengan seluruh bagian. Peran agen perubahan sebagai pendorong dan sutradara yang berusaha untuk mengintegrasikan berbagai elemen yang berbeda. Dalam prakteknya, dari satu tahap ke tahap berikutnya merupakan progres sehingga seluruh tahap dari skema aksi lengkap.

Fokus Strategi: Pendekatan Konsensus dan Konflik Permasalahan strategi adalah seringnya pendikotomian dalam menentukan pilihan antara pendekatan konflik dan konensus, dan ini merupakan kenyataan dalam kehidupan masyarakat. Penggunaan konsensus dan konflik ini cukup dominan pada model pengembangan masyarakat dan model aksi sosial. Bila dilihat secara lebih luas, konflik dan konsensus dipandang sebagai kembar siam dari social progress. Kedua pendekatan ini diperlukan dalam situasi tertentu.

Fokus Strategi : Pendekatan Tugas dan Proses Dalam bekerja dengan sebuah kolektif atau kelompok, perencana dan organisator selalu dihadapkan pada pilihan tekanan orientasi: tugas atau proses. Orientasi tugas menekankan pada pencapaian hasil dan menomorduakan pengembangan kapasitas masyarakat dan keterikatan diantara mereka, sedangkan orientasi proses sebaliknya menomorduakan pencapaian hasil.
Strategi sebagai AlatTujuan Sebagian besar praktisi mengakui bahwa pengoperasian rantai alat-tujuan sebagai pengalaman praktis yang umum. Konsep strategi sebagai pilinan alat-tujuan yang diatur memiliki sejumlah konsekuensi yang penting bagi pengembangan masyarakat.

C.      Strategi Dasar Dalam Pengembangan Masyarakat
Ada 3 (tiga) strategi dasar dalam pengembangan masyarakat, yaitu Strategi Empiris-rasional, Strategi Normatif-reedukatif, dan Strategi Kekuasaan-Paksaan (Power-Coercive). Seperti dijelaskan pada bagian terdahulu, pemilihan strategi yang tepat didasarkan kepada asumsi-asumsi yang digunakan oleh perencana terhadap kondisi masyarakat. Asumsi tentang masyarakat memberikan pijakan kepada perencana untuk mennetukan berbagai hal yang harus dipersiapkan dan dilakukan kemudian dalam mewujudkan tujuan yang ingin dicapai.
1.      Strategi Empiris-Rasional
Strategi Empiris Rasional didasarkan pada asumsi-asumsi sebagai berikut:
a)     Manusia adalah mahluk rasional. Dengan demikian, musuh utama rasionalitas manusia adalah kebodohan dan tahyul.
b)     Manusia akan mengikuti kepentingan dirinya yang rasional.
c)      Manusia akan menerima perubahan jika perubahan tersebut dapat diterima dan dibenarkan secara rasional. Untuk itu, agen perubahan harus dapat menunjukkan manfaat perubahan bagi sasaran perubahan. Karena apabila manfaat dari perubahan itu tidak dapat mereka terima atau tidak dapat terbukti, maka mereka tidak dapat meyakini perlunya perubahan bagi mereka.

Tujuan yang ingin dicapai adalah perubahan pengetahuan melalui informasi atau dasar pemikiran intelektual.
2.      Strategi Normatif-Reedukatif
Strategi Normatif-reedukatif didasarkan pada asumsi sebagai berikut:
a)     Pola tindakan dan perilaku warga masyarakat didukung oleh:
b)     Norma-norma sosial-budaya, dan
c)      Komitmen individu terhadap norma-norma.
d)     Norma sosial-budaya didukung oleh sikap dan sistem nilai dari indvidu (pandangan normatif yang memperkuat komitmen mereka)
e)     Perubahan pola perilaku atau tindakan masyarakat hanya kaan terjadi jika orang dapat digerakan hatinya untuk mengubah orientasi normatif terhadap pola lama dan mengembangkan komitmen terhadap pola yang baru.

Tujuan yang ingin dicapai adalah perubahan siskap, perasaan, dan pola hubungan.

3.      Strategi Power-Coercive
Strategi Power-coercive didasarkan kepada asumsi:
1)     Manusia akan mengikuti keinginan dari pihak lain yang dipandangkan memiliki kekuasaan lebih besar. Terlebih lagi bila sebagian sumber pemenuhan kebutuhan dia berada pada pihak tersebut.
2)     Masyarakat yang memiliki tingkat intelektual yang rendah dan situasi masyarakat yang anomi menuntut peran yang lebih besar dari penguasa untuk melakukan inisiatif dan pengaturan.
3)      Manusia akan mengikuti perubahan yang terjadi ketika tidak memiliki daya daya tawar dan kemampuan untuk mengoreksi.
4)     Unsur kekuasaan yang digunakan :
a.       Kekuasaan Politik
b.      Kekuasaan Ekonomi
c.       Kekuasaan Moral.

Tujuan yang ingin dicapai perubahan orientasi dan kemauan mengikuti arah perubahan. Sebagai strategi dasar, operasionalisasinya akan terkait dengan pendekatan dan model pengembangan masyarakat yang digunakan. Untuk itu, perlu diperhatikan komponen-komponen yang perlu diperhatikan dalam menyusun strategi pengembangan masyarakat.

D.      Penutup
Strategi memiliki kedudukan yang cukup sentral dalam proses pengembangan masyarakat. Tanpa strategi, ideologi dan komitmen dalam pengembangan masyarakat menjadi hanya sebatas retorika yang tanpa makna. Aksi yang dilakukan tanpa menggunakan strategi yang tepat tidak dapat menjamin tercapainya hasil yang diharapkan


SAYA SEDIH MENDENGAR KATA TAMBANG ?


Kata tambang atau Isu pertambangan menjadi wacana hangat di wilayah NTB dan kabupaten Sumbawa yang menjadi wilayah paling sesak ijin pertambangan, hal ini membuat warga masyarakat baik dari kalangan penguasa,mahasiswa,dan masyarakat awam sekalipun sudah mampu memberikan wacana tentang petambangan.

Ironisnya, saat ini dibeberapa wilayah dikabupaten Sumbawa yang lokasi pertambangan sudah dikeluarkan oleh instansi terkait secara terbuka dan terang-terangan untuk melakukan kegiatan pertambangan atau dengan nama kerennya Exsplorasi (pengeboran). Namun ada juga lokasi yang diberikan ijin pertambangan saat ini di lakukan aktivitas penambangan tradisional orang masyarakat Sumbawa dan masyarakat luar Sumbawa untuk mencari nafka untuk keluarga.

          Namun ada pula perusahan tambangan yang konon cerita orang sudah selesai melakukan pengeboran, tetapi apa yang terjadi beberapa dari pekerja mereka terpaksa dirumahkan sebagai langkah pengurangan devisit anggaran perusahaan. Logikanya dalam kontek pekerjaan bahwa konrak yang ditanda tanggani merupakan bagian dari perjanjian antara pihak perusaan dengan pihak pekerja meskipun sepihak namun secara aturan tentu pekerja lebih dihargai sebagai orang yang telah membantu perusahaan dalam menyelesaikan kegiatannya, bukan malah membuang dengan bahasa dirumahkan dengan waktu  yang tidak ditentukan.

          Sebuah tulisan yang dapat menjadi rusukan penulis di Blog Rungan Samawa dengan judul “SUMBAWA DIPERSIMPANGAN JALAN” : Setelah mengetahui potensi isi perut bumi 'tana samawa' yang sangat kaya dengan kandungan multi mineral...dan telah dibuktikan dengan milyaran $ keluar dari MALUK alias BATU HIJAU dan sebentar lagi DODO RINTI dengan terliunan $, siapapun pimpinan dan dengan mengatas namakan aspirasi siapapun akan menemui kesulitan dalam memutuskan peruntukan GENERASI YANG MANA ???. Dieksplorasi sekarang 'terbukti' keterbatasan modal ( SDM dan Finasial) bangsa kita (lebih-lebih pemda) menempatkan kita pada struktur kepemilikan yg jauh dari yang diharapkan walau BATU HIJAU telah melewati 2 dasawarsa implikasi kesejahteraan hanya dinikmati oleh segelintir orang 'yang kebetulan bekerja' didalamnya. selebihnya...lebih dominan pada bantuan pisik yang terkesan 'menina bobokkan' pemeritah dan masyarakat sumbawa. Alhasil, babak pertama (BATU HIJAU). Gagal mensejahterakan masyarakat lokal 'Tau samawa'. DODO RINTI; didepan mata sudah mulai mengusik dan menebar pesona akankah 'kelemahan dan kesalahan' yang sama akan terulang ??? Berandai-andai DODO RINTI kita wariskan kepada generasi yang akan datang ( rata-rata umur generasin 63 tahum), artinya harus muncul kesadaran 'kolektif' dari PIMPINAN VISIONER untuk mentutupi 2 kelamahan diatas. Sebuah pertaruhan besar memaknai realitas kekinian dengan godaan keuntungan jangka pendek, disisi lain dibutuhkan kesabaran dan kerelaan berbagi untuk anak cucu kita yang (HARUS) dipersiapkan dari sekarang, Pilihan yang mana ?

Namun Sekilas tentang  Dana CSR di Indonesia Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan telah berkembang sejak tahun 1970-an. Awal milenium ke-3 isyu CSR semakin menguat terutama sejak dikeluarkannya Agenda World Summit di Johannesburg tahun 2002 yang menekankan pentingnya tanggung jawab sosial perusahaan. CSR adalah basis teori tentang perlunya sebuah perusahaan membangun hubungan harmonis dengan masyarakat tempatan. Secara teoretik, CSR dapat didefinisikan sebagai tanggung jawab perusahaan terhadap pemerintah dan daerah penghasil serta masyarakat sekitar tambang.

Permasalah yang dikaji dalam tulisan ini adalah peran aktif pemerintah baik pusat maupun daerah  serta instansi terkait untuk lebih peka terhapat persoalan yang ada, berkaca dari PT Freeport Indonesia PAPUA dan PT NNT di Batu Hijau KSB



Pemerintah justru punya refrensi dalam melihat kejadian-kejadian yang sudah terjadi dan dampak dari keberadaan tambang di daerah.

Tetapi berbicara tentang keuntungan keberadaannya sebagai elemen masyarakat tentu memberikan apresiasi terhadap keberadaan prusahaan tersebut, akan tetapi banyak juga opsi elemen masyarakat yang terkadang tidak setuju atas keberadaan tambang yang dikelola dari prusahaan ataupun nama lainnya. Apaun yang diperbuat di lokasi tambang tidak memberikan pengaruh terhadap dampak yang lingkungan dilokasi apalagi berdampak dengan yang lain. Jangan heran beberapa waktu yang lalu beberapa elemen masyarakat bima menolak keberadaan perusahan tambang yang beroperasi didaerahnya karena mereka telah belajar dari pengelaman kerusakan yang dialami oleh daerah sekitar.

Namun kesedihan menyelimuti kita warga masyarakat Sumbawa tidak ada tindakan rill dalam menyelesaikan persoalan yang tiap hari selalu dirundung masalah, baik dari perumahan karyawan local sampai dengan pemberdayaan masyarakat local yang sampai hari ini hanya sebatas isu belaka kalau pihak perusahaan akan selalu memperhatikan masyarakat “lingkar”.

Akhir tulisan ini kemungkinan tidak ada manfaat, namun perlu diresapi oleh seluruh masyarakat dan pemerintah agar lebih mendengar hati nurani dari pada mendengar bisikan suara-suara gentayangan dengan asumsi tak bertanggung jawab. Sumbawa daerah hijau dan subur jikalau dimanfaatkan dengan baik akan mampu melawan jumlah pemasukan yang diberikan oleh pihak perusahaan.


Islam Dan Etos Kerja Dalam Konteks Pengembagan Diri



A.   PENDAHULUAN
Salah satu yang menyebabkan Indonesia terpuruk secara ekonomi seperti saat ini adalah kurangnya etos kerja dalam diri manusianya. Ini membuat miris, padahal lebih 80% rakyatnya beragama Islam. Padahal Islam amat menganjurkan pemeluknya untuk bekerja dan memanfaatkan waktu secara efektif. Salah satu tokoh Islam Ali bin Abi Thalib mengatakan: waktu itu ibarat mata pedang, bila tak dimanfaatkan dengan baik ia akan melukai diri sendiri. Al- Qur’an juga menegaskan kepada kita, “apabila telah selesai dari suatu pekerjaan tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain).
Islam di antara agama-agama yang ada di dunia, adalah satu-satunya agama yang menjunjung tinggi nilai kerja. Ketika masyarakat dunia pada umumnya menempatkan kelas pendeta dan kelas militer di tempat yang tinggi, Islam menghargai orang-orang yang berilmu, petani, pedagang, tukang dan pengrajin. Sebagai manusia biasa, mereka tidak diunggulkan dari yang lain, karena Islam menganut nilai persamaan di antara sesama manusia di hadapan manusia. Ukuran ketinggian derajat adalah ketakwaannya kepada Allah, yang diukur dengan iman dan amal salihnya
Tidak sempurna memahami atau salah memahami ajaran justru akan membuat penganut ajaran tersebut terperangkap dalam pandangan dan praktek di luar ajaran. Memahami Islam hanya sebatas ritual ‘ubudiyyah atau upacara peribadatan yang sempit ternyata mengakibatkan tidak sedikit muslim mengabaikan banyak tuntunan yang disampaikan Islam lewat dua sumber utamanya, yaitu: Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Allah Ta’ala berfirman: “Dan kami turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri (muslim).” (QS An Nahl : 89).
Istilah kerja dalam Islam bukanlah semata-mata merujuk kepada mencari rezeki untuk menghidupi diri dan keluarga dengan menghabiskan waktu siang maupun malam, dari pagi hingga sore, terus menerus tak kenal lelah, tetapi kerja mencakup segala bentuk amalan atau pekerjaan yang mempunyai unsur kebaikan dan keberkahan bagi diri, keluarga dan masyarakat sekelilingnya serta negara. Dengan kata lain, orang yang berkerja adalah mereka yang menyumbangkan jiwa dan tenaganya untuk kebaikan diri, keluarga, masyarakat dan negara tanpa menyusahkan orang lain. Oleh karena itu, kategori ahli Syurga seperti yang digambarkan dalam Al-Qur’an bukanlah orang yang mempunyai pekerjaan/jabatan yang tinggi dalam suatu perusahaan/instansi sebagai manajer, direktur, teknisi dalam suatu bengkel dan sebagainya. Tetapi sebaliknya Al-Quran menggariskan golongan yang baik lagi beruntung (al-falah) itu adalah orang yang banyak taqwa kepada Allah, khusyu sholatnya, baik tutur katanya, memelihara pandangan dan kemaluannya serta menunaikan tanggung jawab sosialnya seperti mengeluarkan zakat dan lainnya (QS Al Mu’minun : 1 – 11). Salah satu contoh : terdiri dari pegawai, supir, tukang sapu ataupun seorang yang tidak mempunyai pekerjaan tetap Sifat-sifat di ataslah sebenarnya yang menjamin kebaikan dan kedudukan seseorang di dunia dan di akhirat kelak. Jika membaca hadits-hadits Rasulullah SAW tentang ciri-ciri manusia yang baik di sisi Allah, maka tidak heran bahwa diantara mereka itu ada golongan yang memberi minum anjing kelaparan, mereka yang memelihara mata, telinga dan lidah dari perkara yang tidak berguna, tanpa melakukan amalan-amalan sunnah dan Al-Qur’an yang sesuai dengan kaidahnya.
B.   ISLAM DAN ETOS KERJA
Agama Islam yang berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai tuntunan dan pegangan bagi kaum muslimin mempunyai fungsi tidak hanya mengatur dalam segi ibadah saja melainkan juga mengatur umat dalam memberikan tuntutan dalam masalah yang berkenaan dengan kerja.
Rasulullah SAW bersabda: “bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya, dan beribadahlah untuk akhiratmu seakan-akan kamu mati besok.” Dalam ungkapan lain dikatakan juga, “Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah, Memikul kayu lebih mulia dari pada mengemis, Mukmin yang kuat lebih baik dari pada mukslim yang lemah. Allah menyukai mukmin yang kuat bekerja.” Nyatanya kita kebanyakan bersikap dan bertingkah laku justru berlawanan dengan ungkapan-ungkapan tadi.
Pengertian etos kerja. Etos berasal dari bahasa Yunani (ethos) yang memberikan arti sikap, kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat. Etos dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh budaya, serta sistem nilai yang diyakininya. Dari kata etos ini, dikenal pula kata etika, etiket yang hampir mendekati pada pengertian akhlak atau nilai-nilai yang berkaitan dengan baik buruk (moral), sehingga dalam etos tersebut terkandung gairah atau semangat yang amat kuat untuk menyempurnakan sesuatu secara optimal, lebih baik, dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang sesempurna mungkin. (htpp.///www.pintani’a blog.com)
Abu Hamid memberikan pengertian bahwa etos adalah sifat, karakter, kualitas hidup, moral dan gaya estetika serta suasana hati seseorang masyarakat. Kemudian mengatakan bahwa etos berada pada lingkaran etika dan logika yang bertumpuk pada nilai-nilai dalam hubungannya pola-pola tingkah laku dan rencana-rencana manusia. Etos memberi warna dan penilaian terhadap alternatif pilihan kerja, apakah suatu pekerjaan itu dianggap baik, mulia, terpandang, salah dan tidak dibanggakan.
Dengan menggunakan kata etos dalam arti yang luas, yaitu pertama sebagaimana sistem tata nilai mental, tanggung jawab dan kewajiban. Akan tetapi perlu dicatat bahwa sikap moral berbeda dengan etos kerja, karena konsep pertama menekankan kewajiban untuk berorientasi pada norma sebagai patokan yang harus diikuti. Sedangkan etos ditekankan pada kehendak otonom atas kesadaran sendiri, walaupun keduanya berhubungan erat dan merupakan sikap mental terhadap sesuatu. Padahal dalam situasi globalisasi saat ini, kita dituntut untuk menunjukkan etos kerja yang tidak hanya rajin, gigih, setia, akan tetapi senantiasa menyeimbangkan dengan nilai-nilai Islami yang tentunya tidak boleh melampaui rel-rel yang telah ditetapkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Dalam al-Qur’an dikenal kata itqon yang berarti proses pekerjaan yang sungguh-sungguh, akurat dan sempurna. (An-Naml : 88). Etos kerja seorang muslim adalah semangat untuk menapaki jalan lurus, dalam hal mengambil keputusan pun, para pemimpin harus memegang amanah terutama para hakim. Hakim berlandaskan pada etos jalan lurus tersebut sebagaimana Dawud ketika ia diminta untuk memutuskan perkara yang adil dan harus didasarkan pada nilai-nilai kebenaran, maka berilah keputusan (hukumlah) di antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjuklah (pimpinlah) kami ke jalan yang lurus (QS. Ash Shaad : 22)
Maka pengertian etos kerja tersebut, menunjukan bahwa antara satu dengan yang lainnya memberikan pengertian yang berbeda namun pada prinsipnya mempunyai tujuan yang sama yakni terkonsentrasi pada sikap dasar manusia, sebagai sesuatu yang lahir dari dalam dirinya yang dipancarkan ke dalam hidup dan kehidupannya. Kerja secara etimologi diartikan (1) sebagai kegiatan melakukan seseuatu, (2) sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah. Etos kerja menurut Abdullah, adalah “alat dalam pemilihan”. Definisi yang dikemukakan tersebut lebih meletakkan manusia sebagai makhluk Tuhan yang mempunyai keistimewaan tersendiri, diantaranya adalah kemampuan untuk bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini terkandung pula makna bahwa manusia adalah makhluk yang mempunyai keharusan untuk bekerja dan merupakan hal yang istimewa yang tidak dimiliki oleh makhluk lain.
C.   PENGEMBANGAN DIRI
Semua agama, ialah jalan kebenaran, bahkan sains pun diarahkan untuk mengungkapkan jati diri manusia. Manusia yang mengenali dirinya dengan baik, maka akan mampu mengatur kehidupan di dunia ini dengan baik. Sesungguhnya manusia diberi potensi yang bisa mendorong dirinya pada perbuatan baik maupun buruk. Menghilangkan potensi dalam diri tentu tidak baik. Maka yang baik adalah mengendalikan dan mengarahkan agar menjadi motivator pada arah yang diridloi Allah. Jika seseorang sanggup berbuat hal yang demikian berarti manusia itu memiliki kecerdasan dan pengembangan diri dengan baik.
Secara global, dapat dikatakan bahwa Islam mengatur seluruh kehidupan kaum muslim. Seluruh ajaran Islam adalah agama sistem, agama penataan (pengembangan) dan disiplin. Ini semua menjadi landasan bagi setiap aktivitas dalam Islam, dan setiap muslim dituntut untuk melaksanakan sistem tersebut serta komitmen padanya dalam berbagai urusan, baik yang besar maupun kecil. Jika sesorang telah mampu memahami dan mengenal dengan baik tentang dirinya baik dari aspek jasmani maupun rohani, maka akan dapat merasakan fungsi potensi dari dirinya. Kekuatan serta potensi mengenal secara mendalam tentang eksisitensi jasmani dan rohani dapat dicapai melalui bimbingan dan pengajaran Allah yang dihasilkan dari esensi ketakwaan dan penghambaan yang sangat tinggi.
pengembangan diri dalam Islam sebenarnya sangat signifikan dalam membentuk manusia yang berakhlakul karimah, dengan membantu seseorang menjaga atau mencegah timbulnya berbagai masalah bagi dirinya sendiri, membantu individu memecahkan berbagai persoalan, membantu individu untuk menjaga agar situasi dan kondisi yang telah baik dapat bertahan, dan membantu individu terus mengembangkan kondisi yang telah baik menjadi terus lebih baik dari waktu kewaktu hingga terlatih menghadapi putaran kehidupan sehingga mampu tercapai kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat. (Skripsi UIN Yogyakarta: Tego Slamet “ Manajemen diri dalam Islam”)
Namun pengembangan diri merupakan bentuk perwujudan dari aktualisasi diri, yaitu proses untuk mewujudkan dirinya yang terbaik sejalan dengan potensi dan kemampuan yang dimilikinya. Setiap individu mempunyai kekuatan yang bersumber dari dirinya, namun banyak orang yang merasa tidak mempunyai kemampuan apa-apa, merasa dirinya tidak berguna dan tidak mampu mencapai aktualisasi diri.
Tidak banyak orang yang mengetahui nilai dirinya istilahnya self value. Nilai diri adalah hal-hal yang kita paling kita hargai dalam hidup. Bentuknya dalam satu kata sifat atau benda, misalnya: keluarga, kerjasama, sinergi, persahabatan, kerja keras, dll. Nilai diri ini mempengaruhi situasi hidup kita. Sebagai contoh, jika nilai diri Anda adalah keluarga, pastinya kemana pun Anda pergi Anda akan selalu kembali ke keluarga. Bagi Anda, keluarga adalah nomor satu. Uang yang Anda hasilkan dari pekerjaan akan Anda berikan sepenuhnya pada keluarga. Anda pun akan cemas jika ada sesuatu yang mengancam kestabilan keluarga Anda.
Fase pengembangan diri sesungguhnya merupakan tujuan yang diharapkan dari proses pengenalan diri. Pengembangan diri itu sendiri merupakan proses pertumbuhan yang terjadi secara terus-menerus, berkembang dan selalu berada dalam kemantapan hati demi suatu perbaikan, pengoptimalan potensi-potensi yang dimiliki dan usaha meminimalkan kekurangan-kekurangan yang ada.
Pengembangan diri juga merupakan suatu usaha individu untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri. Kebutuhan aktualisasi diri itu sendiri merupakan kebutuhan puncak/ tertinggi (meta needs) diantara kebutuhan-kebutuhan manusia menurut versi Abraham Maslow. Kebutuhan-kebutuhan dibawahnya adalah fisiologis (dasar) (physiological needs), kebutuhan akan rasa aman (safety needs), kebutuhan akan kasih sayang (love and belonging needs), dan kebutuhan akan harga diri (self esteem needs).
Sedangkan versi Mc Clelland, pengembangan diri bisa dikategorikan pada usaha pemenuhan kebutuhan untuk berprestasi (dikenal dengan n’Achneed for achievement). Prestasi disini adalah dalam pengertian luas, tidak sekedar dibatasi lingkup akademis (seperti nilai, Indeks Prestasi), namun juga termasuk prestasi-prestasi dalam bentuk lain yang memberikan kontribusi positif bagi individu yang bersangkutan maupun bagi masyarakat luas. Dengan kata lain, individu yang senantiasa melakukan pengembangan diri akan senantiasa dimotivasi oleh keinginannya untuk mencetak prestasi-prestasi baru. Dengan demikian individu tersebut juga senantiasa berada pada posisi pengaktualisasian-pengaktualisasian diri yang tidak sekedar to be or not to be, tetapi becoming or unbecoming. Melalui pemuasan kebutuhan aktualisasi diri, keberadaan manusia tidak pernah menjadi suatu kondisi yang tetap, tetapi menjadi sesuatu yang selalu berkembang. (http.////wwww.aspat konseling.com).
D.   PEMBAHASAN
Membicarakan etos kerja dalam Islam, berarti menggunakan dasar pemikiran bahwa Islam, sebagai suatu sistem keimanan, tentunya mempunyai pandangan tertentu yang positif terhadap masalah etos kerja. Adanya etos kerja yang kuat memerlukan kesadaran pada orang bersangkutan tentang kaitan suatu kerja dengan pandangan hidupnya yang lebih menyeluruh, yang pandangan hidup itu memberinya keinsafan akan makna dan tujuan hidupnya. Dengan kata lain, seseorang agaknya akan sulit melakukan suatu pekerjaan dengan tekun jika pekerjaan itu tidak bermakna baginya, dan tidak bersangkutan dengan tujuan hidupnya yang lebih tinggi, langsung ataupun tidak langsung.
Menurut Nurcholish Madjid, etos kerja dalam Islam adalah hasil suatu kepercayaan seorang Muslim, bahwa kerja mempunyai kaitan dengan tujuan hidupnya, yaitu memperoleh perkenan Allah swt. Berkaitan dengan ini, penting untuk ditegaskan bahwa pada dasarnya, Islam adalah agama amal atau kerja (praxis). Inti ajarannya ialah bahwa hamba mendekati dan berusaha memperoleh ridha Allah melalui kerja atau amal saleh, dan dengan memurnikan sikap penyembahan hanya kepada-Nya. (http.///www.jurnal mentari.com)
Toto Tasmara, dalam bukunya Etos Kerja Pribadi Muslim, menyatakan bahwa “bekerja” bagi seorang Muslim adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh, dengan mengerahkan seluruh asset, fakir dan zikirnya untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang harus menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik (khaira ummah), atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa dengan bekerja manusia itu memanusiakan dirinya. (http.///www.jurnal mentari)
Salah satu bagian dari syari’at Islam adalah kewajiban bekerja, dan keharaman berpangku tangan serta bermalas-malasan bagi orang yang berkemampuan untuk bekerja. Allah Ta’ala berfirman: “Dan katakanlah, Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang yang mu’min, dan kamu akan dikembalikan kepada [Allah] Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakannya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (At Taubah : 105).
Sehingga  kemulian seorang manusia bergantung kepada apa yang dilakukannya. Dengan itu, sesuatu amalan pekerjaan yang mendekatkan seseorang kepada allah adalah sangat penting serta patut  untuk diberi perhatian. Amalan dan pekerjaan  yang  demikian  selain  memperoleh  keberkahan serta kesenangan dunia juga ada yang lebih penting  yaitu mencari  jalan atau bahasa gaul mencari tiket menuju akhirat dengan menentukan kehidupan yang lebih baik.
Ada bebera ayat Al-Qur’an yang ada kaitan dengan etos kerja :
šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# 4n1qèÛ óOßgs9 ß`ó¡ãmur 5>$t«tB ÇËÒÈ  
Artinya : “ Orang-orang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagian dan tempat kembali yang baik “. (Q.S. AL-Ra’du:29).
Kerja menurut islam merupakan tindakan yang agung, tinggi dan mulia. Ia merupakan dasar dari setiap orang yang bersungguh-sungguh dan jalan menuju kesuksesan. Tanpa bekerja manusia tidak bisa maju dan merasakan nikmatnya hidup dan dengan bekerja manusia bisa hidup dengan tenang. Serta dengan dengan semangat bekerja dengan penggangguran bia berkurang. Dengan bekerja harta seseorang bisa bertambah, pemasukan bisa dipredeksi, dan manusia bisa selamat dihadapan allah diakhirat nanti dengan syarat bekerja diridhoi dan benarkan syariat islam dan allah benci pada seseorang yang mengganggur. Pakar ilmu jiwa berkata, “ Apabila kamu khendak menghukum seseorang, maka orang tersebut harus lepas dari pekerjaannya “. (Refrensi dari majalah risalah Jum’at).
            Kerja menurut Al-Qur’an mempunyai obyek ganda sehingga kerja untuk dunia dan kerja (amal perbuatan) untuk akhirat. Ibnu Umar berkata  : “Kerjakanlah urusan duniamu seakan-akan kamu akan hidup selama-lamanya, dan bekerjalah urusan akhiratmu seakan-akan kamu akan mati besok”. Karena itu Al-Qur’an menyejajarkan amal shaleh dengan iman dan dijadikan argumentasi sekaligus tanda pembenaran. Karena iman merupakan pengakuan dalam dada dan pembenarannya adalah amal (praktik kerja).
            Berurang kali ayat Al-Qur’an menyatakan ada kurang lebih empat puluh satu surat yang mensejajarkan antara iaman dengan amal shaleh. Bekerja atau beramal shaleh tidak akan mengurangi nilai ibadah, zikir, tasbih, tahmid, tahlil dan sebagainya. Maksudnya setiap kebijakan bisa untuk diri pribadi seseorang, keluarga dan masyarakat. Karena itu, Al-Qur’an sangat menganjurkan bekerja dan beramal shaleh dan jelas diterima amalnya disisi allah. Allah swt  berfirman:
`tB tb%x. ߃̍ムno¨Ïèø9$# ¬Tsù äo¢Ïèø9$# $·èÏHsd 4 Ïmøs9Î) ßyèóÁtƒ ÞOÎ=s3ø9$# Ü=Íh©Ü9$# ã@yJyèø9$#ur ßxÎ=»¢Á9$# ¼çmãèsùötƒ 4 z`ƒÏ%©!$#ur tbrãä3ôJtƒ ÏN$t«ÍhŠ¡¡9$# öNçlm; Ò>#xtã ÓƒÏx© ( ãõ3tBur y7Í´¯»s9'ré& uqèd âqç7tƒ ÇÊÉÈ  

Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, Maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras. dan rencana jahat mereka akan hancur. (Qs. Al-Fathir:10)
Sehingga ahli tafsir mengatakan bahwa Perkataan yang baik itu ialah kalimat tauhid Yaitu laa ilaa ha illallaah; dan ada pula yang mengatakan zikir kepada Allah dan ada pula yang mengatakan semua Perkataan yang baik yang diucapkan karena Allah.
Maksudnya ialah bahwa Perkataan baik dan amal yang baik itu dinaikkan untuk diterima dan diberi-Nya pahala.
ôs)s9ur $oYö;tFŸ2 Îû Íqç/¨9$# .`ÏB Ï÷èt/ ̍ø.Ïe%!$# žcr& uÚöF{$# $ygèO̍tƒ yÏŠ$t6Ïã šcqßsÎ=»¢Á9$# ÇÊÉÎÈ  
Dan sungguh telah Kami tulis didalam Zabur sesudah (kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hambaKu yang saleh. (Qs. Al-Anbiya:105).
Yang dimaksud dengan Zabur di sini ialah seluruh kitab yang diturunkan Allah kepada nabi-nabi-Nya. sebahagian ahli tafsir mengartikan dengan kitab yang diturunkan kepada Nabi Daud a.s. dengan demikian Adz Dzikr artinya adalah kitab Taurat.
Dari beberapa pendapat dan pemahaman penulis tentang ayat Al-Qur’an di atas, maka dapat dipahami bahwa etos kerja dalam Islam terkait erat dengan nilai-nilai (values) yang terkandung dalam  dan Al-Sunnah atau Al-Qur’an tentang “kerja” yang dijadikan sumber inspirasi dan motivasi oleh setiap Muslim untuk melakukan aktivitas kerja di berbagai bidang kehidupan. Cara mereka memahami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai  dan Al-Sunnah dan Al-Qur’an tentang dorongan untuk bekerja itulah yang membentuk etos kerja Islam. Sehingga Al-Qur’an mendorong manusia agar melakukan pekerjaan yang bisa memaksimalkan dunia, dan mempunyai usaha sebagai azas pencapaian rezeki dalam penghidupannya sebagai modal hidup di akhirat kelak.
E.   KESIMPULAN
Dari pemaparan diatas , tentunya penulis mencoba memberikan anilisis tentang “ ISLAM DAN ETIKA SOSIAL DALAM  KONTEKS  PENGEMBANGAN DIRI”  ADALAH   merupakan langkah unutuk mencoba   Sebenarnya,etos kerja” dalam perspektif Islam adalah seperangkat “nilai-nilai etis” yang terkandung dalam ajaran Islam – Alquran dan Alsunnah – tentang keharusan dan keutamaan bekerja, yang digali dan dikembangkan secara sungguh-sungguh oleh umat Islam dari masa ke masa, dan itu sangat mempengaruhi tindakan dan kerja-kerjanya di berbagai bidang kehidupan dalam mencapai hasil yang diharapkan lebih baik dan produktif.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ajaran Islam sejelas-jelasnya memberikan inspirasi dan motivasi kepada umat Islam agar bekerja sebaik-baiknya untuk mencapai hasil yang terbaik, dan ini tentunya dengan tidak mengabaikan landasan etis atau prinsip-prinsip dasar dan umum yang ada di dalam ajaran Islam. Yang perlu diingat, etos kerja Islami dapat terhambat oleh sistem pemerintahan yang feodal, otoriter dan represif terhadap rakyat. Oleh karena itu, etos kepemimpinan di dunia Islam khususnya, harus dibenahi dengan pemahaman yang utuh terhadap etos kerja dalam ajaran Islam.
Etos kerja dalam Islam yang perlu diperhatikan adalah Adanya keterkaitan individu terhadap Allah sehingga menuntut individu untuk bersikap cermat dan bersungguh-sungguh dalam bekerja, berusaha keras memperoleh keridhaan Allah dan mempunyai hubungan baik dengan relasinya. Berusaha dengan cara yang halal dalam seluruh jenis pekerjaan. Tidak memaksakan seseorang, alat-alat produksi atau binatang dalam bekerja, semua harus dipekerjakan secara professional dan wajar. Tidak melakukan pekerjaan yang mendurhakai Allah yang ada kaitannya dengan minuman keras, riba dan hal-hal lain yang diharamkan Allah. Professionalisme dalam setiap pekerjaan.