Puasa secara etimologis berarti
menahan, yaitu menahan makan, minum, kegiatan seksual dan hal-hal lain yang
bisa mengurangi atau membatalkan puasa. Sebagai ibadah individual, maka puasa
merupakan ibadah yang hanya diketahui oleh pelaku dan Allah saja. Orang bisa
berpura-pura puasa, padahal sebenarnya tidak. Bahkan, orang bisa melakukan
puasa, tetapi tidak memperoleh pahala dari ibadah puasanya. Puasa merupakan proses penyucian diri.
Dari aspek ini, puasa memang merupakan instrumen untuk membangun kesadaran bagi
manusia untuk selalu taat kepada Allah, sehingga akan membentuk sikap dan
tindakan kesalehan ritual. Akan tetapi sesungguhnya puasa juga memiliki makna
sosial, sebab puasa bisa menjadi instrumen untuk membangun kesetaraan sosial.
Kesetaraan berasal dari kata setara atau sederajat. Jadi,
kesetaraan juga dapat disebut kesederajatan. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), sederajat artinya sama tingkatan (kedudukan, pangkat). Dengan
demikian, kesetaraan atau kesederajatan menunjukkan adanya tingkatan yang sama,
kedudukan yang sama, tidak lebih tinggi atau tidak lebih rendah antara satu
sama lain. (Dinamika : rustadi92)
Solidaritas
sosial merupakan bangunan masyarakat yang didalamnya terdapat saling pengertian
antar berbagai individu dan kelompok yang berbeda-beda yang karena saling
pengertian itu bisa dibangun satu kekuatan yang saling membantu dan bahu
membahu dalam menghadapi berbagai persoalan.
Puasa akan mengarahkan sikap dan
tindakan manusia untuk kesalehan sosial. Puasa yang dilakukan dengan keikhlasan
yang tinggi tentu akan bisa mengantarkannya untuk memiliki kesadaran kritis
tentang dunia di sekelilingnya. Kesadaran tersebut berupa pemahaman bahwa
kelaparan, kehausan, dan menahan hawa nafsu ternyata bukan persoalan sederhana. Melalui
puasa, akan diketahui bagaimana rasanya menahan lapar, bagaimana rasanya
menahan haus, dan bagaimana rasanya menahan semua hawa nafsu kemanusiaannya.
Jadi, melalui puasa, akan dirasakan pengalaman yang selama ini tidak
dihiraukannya. Melalui puasa yang dilakukan, maka akan timbul dampak tentang
solidaritas sosial. Mereka akan menjadi sayang kepada sesamanya. Jika ada
orang yang lapar, akan tergerak hatinya untuk memberinya makan. Jika ada orang
yang kehausan, akan muncul kesadarannya untuk memberikan minuman. Jika ada
orang yang kesulitan, akan tergerak batinnya untuk mencari penyelesaian.
Puasa yang dilakukan dengan penuh
keimanan, keikhlasan, dan perhitungan atau imanan wa ihtisaban, maka akan
mengantarkannya kepada kesadaran baru tentang pentingnya membangun solidaritas
sosial secara tuntas di dalam kehidupan. Dengan demikian, puasa tidak hanya
mengandung dimensi ritual an sich, tetapi juga mengandung makna kesetaraan social dan Penguatan solidaritas sosial
yang tercermin dalam perbuatan menolong dan mengangkat derajat kehidupan kaum
fakir dan miskin, akan memberikan kepercayaan diri dan optimisme bahwa mereka tidak sendirin dalam mengatasi persoalan hidup.
Puasa yang benar adalah ketika puasa
tersebut dapat menjadi instrumen di dalam kerangka untuk menyayangi sesama
manusia, sebagaimana yang bersangkutan menyayangi dirinya sendiri. Dengan
demikian, puasa akan menjadi bermakna ketika puasa yang dilakukan dapat
membangun kesadaran baru tentang pentingnya membangun ritualitas yang saleh dan
sekaligus juga membangun sosialitas yang saleh. ( Nur Syam Rektor IAIN Sunan
Ampel Surabaya )
Puasa adalah bulan Allah. Apa
maksud perkataan-Nya ini? Kiranya hal ini terkait dengan firman-Nya juga (dalam
hadis qudsy):
“Puasa adalah untuk-Ku, dan Aku sendiri yang akan membalasnya.”
Maka, kita pun bertanya, tidakkah
semua perbuatan (ibadah) anak Adam adalah untuk Allah, dan tidakkah semua
ganjaran atas perbuatan (ibadah) anak Adam diberikan oleh Allah? Di luar dugaan
banyak orang, jawabannya negatif. Tak semua perbuatan (ibadah) anak Adam adalah
untuk Allah. Dalam sebuah hadis qudsi lain, Allah menjelaskan:
“Setiap perbuatan Anak Adam adalah
untuk mereka, selain puasa. Maka puasa adalah untuk-Ku dan Aku yang akan
membalasnya”.
Dapat dengan jelas disimpulkan
dari hadis qudsi di atas bahwa sesungghnya manfaat semua perbuatan
(ibadah) manusia kembali kepada para pelakunya sendiri. Kecuali puasa. Puasa
mendapatkan kemuliaan yang begitu luhur sehingga disebut sebagai memberikan
“manfaat” kepada Allah sedemikian, sehingga Allah sendiri memberikan ganjaran
khusus kepadanya.
Mengapa demikian?
Kiranya salah satu dialog antara
Allah dan Nabi Musa ‘alayhis-salam bisa menjelaskan hal ini.
Suatu kali Allah bertanya kepada
Nabi Musa: “Wahai Musa, mana ibadahmu untuk-Ku?”. Maka dengan segera
Nabi Musa menjawab: “Sesungguhnya semua ibadahku adalah untuk-Mu, Ya Allah.”
“Tidak demikian halnya, Wahai Musa,” Allah menukas, “semua ibadahmu itu
tak lain untukmu sendiri.” Dalam kebingungan, Nabi Musa bertanya,
“Gerangan apakah ibadahku untuk-Mu?” Maka Allah menjawab: “Memasukkan
rasa bahagia kepada orang yang hancur hatinya.”
Dialog Allah dengan Nabi Musa ini
dengan gamblang menjelaskan alasan mengapa Allah menjadikan puasa sebagai
satu-satunya ibadah manusia untuk-Nya. Yakni, adalah ibadah puasda yang
hikmahnya mendorong pelakunya untuk memiliki empati kepada fakir-miskin dan,
dengan demikian, berupaya untuk melakukan upaya-upaya mengatasi kemiskinan dan
kefakiran mereka.
Sebuah hadis persis mengajarkan
kepada kita mengenai hal ini:
“Hikmah yang terdapat dalam ibadah puasa adalah agar ... Allah memberikan
persamaan antara hamba-Nya, agar orang kaya bisa merasakan kepedihan lapar dan
rasa sakitnya, agar mereka dapat merendahkan hatinya di hadapan orang lemah,
dan mengasihani yang fakir."
Dalam analisis selanjutnya, puasa
dapat disebut sebagai bentuk atau manifestasi paling lengkap dari keberagamaan
kita. Pernah ulama besar Nusantara, Syekh Yusuf Makassari, menjalin beberapa
hadis untuk menunjukkan apa sebenarnya hakikat agama itu.
“Agama adalah mengenal Allah (ma’rifatul-lah). Mengenal Allah adalah
berlaku dengan akhlak (yang baik). Akhlak (yang baik) adalah menghubungkan tali
kasih sayang (silaturrahim). Dan silaturrahim adalah ‘memasukkan rasa bahagia
di hati saudara (sesama) kita (idkhalus-surur fi qalbil-ikhwan)’”.
Dari jalinan hadis tersebut di
atas tampil dengan jelas betapa sesungguhnya hakikat-puncak keberagamaan adalah
berbuat baik kepada sesama manusia, menghilangkan kesulitan dan mendatangkan
kebahagiaan mereka. Kiranya ini bukan suatu penemuan yang mengejutkan. Karena
bukankah memang ini misi kerasulan Muhammad?
“Dan tak akan Kami utus engkau (Muhammad) kecuali untuk menebarkan
kasih-sayang ke atas semesta alam.”
Maka,
marilah kita jalani ibadah puasa dengan kesadaran penuh akan hikmah yang mesti
kita serap darinya. Yakni empati dan solidaritas sosial kepada sesama,
khususnya kepada para fakir-miskin yang masih terserak di negeri ini, disekitar
kita. Karena, tanpa itu semua, bukan hanya tak ada yang kita peroleh dari
kesusahan berpuasa kita “kecuali lapar dan dahaga”. Alih-alih takwa -yakni
keadaan “sadar Allah” di mana dan kapan pun kita berada”, yang difirmankan
sebagai tujuan ibadah puasa jangan-jangan ia malah menegaskan bahwa
keberagamaan kita sesungguhnya tak memiliki landasan keimanan apa-apa, seperti
sabda Nabi-Nya:
“Tak beriman seseorang yang tidur
dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar