Selasa, 09 Juli 2013

PUASA MENGAJARKAN KITA TENTANG KESETARAAN DAN SOLIDARITAS SOSIAL.


Puasa secara etimologis berarti menahan, yaitu menahan makan, minum, kegiatan seksual dan hal-hal lain yang bisa mengurangi atau membatalkan puasa. Sebagai ibadah individual, maka puasa merupakan ibadah yang hanya diketahui oleh pelaku dan Allah saja. Orang bisa berpura-pura puasa, padahal sebenarnya tidak. Bahkan, orang bisa melakukan puasa, tetapi tidak memperoleh pahala dari ibadah puasanya. Puasa merupakan proses penyucian diri. Dari aspek ini, puasa memang merupakan instrumen untuk membangun kesadaran bagi manusia untuk selalu taat kepada Allah, sehingga akan membentuk sikap dan tindakan kesalehan ritual. Akan tetapi sesungguhnya puasa juga memiliki makna sosial, sebab puasa bisa menjadi instrumen untuk membangun kesetaraan sosial.

Kesetaraan berasal dari kata setara atau sederajat. Jadi, kesetaraan juga dapat disebut kesederajatan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sederajat artinya sama tingkatan (kedudukan, pangkat). Dengan demikian, kesetaraan atau kesederajatan menunjukkan adanya tingkatan yang sama, kedudukan yang sama, tidak lebih tinggi atau tidak lebih rendah antara satu sama lain. (Dinamika : rustadi92)

Solidaritas sosial merupakan bangunan masyarakat yang didalamnya terdapat saling pengertian antar berbagai individu dan kelompok yang berbeda-beda yang karena saling pengertian itu bisa dibangun satu kekuatan yang saling membantu dan bahu membahu dalam menghadapi berbagai persoalan.



Puasa akan mengarahkan sikap dan tindakan manusia untuk kesalehan sosial. Puasa yang dilakukan dengan keikhlasan yang tinggi tentu akan bisa mengantarkannya untuk memiliki kesadaran kritis tentang dunia di sekelilingnya. Kesadaran tersebut berupa pemahaman bahwa kelaparan, kehausan, dan menahan hawa nafsu ternyata bukan persoalan sederhana. Melalui puasa, akan diketahui bagaimana rasanya menahan lapar, bagaimana rasanya menahan haus, dan bagaimana rasanya menahan semua hawa nafsu kemanusiaannya. Jadi, melalui puasa, akan dirasakan pengalaman yang selama ini tidak dihiraukannya. Melalui puasa yang dilakukan, maka akan timbul dampak tentang solidaritas sosial. Mereka akan menjadi sayang kepada sesamanya. Jika ada orang yang lapar, akan tergerak hatinya untuk memberinya makan. Jika ada orang yang kehausan, akan muncul kesadarannya untuk memberikan minuman. Jika ada orang yang kesulitan, akan tergerak batinnya untuk mencari penyelesaian.

Puasa yang dilakukan dengan penuh keimanan, keikhlasan, dan perhitungan atau imanan wa ihtisaban, maka akan mengantarkannya kepada kesadaran baru tentang pentingnya membangun solidaritas sosial secara tuntas di dalam kehidupan. Dengan demikian, puasa tidak hanya mengandung dimensi ritual an sich, tetapi juga mengandung makna kesetaraan social dan Penguatan solidaritas sosial yang tercermin dalam perbuatan menolong dan mengangkat derajat kehidupan kaum fakir dan miskin, akan memberikan kepercayaan diri dan optimisme bahwa mereka tidak sendirin dalam mengatasi persoalan hidup.

Puasa yang benar adalah ketika puasa tersebut dapat menjadi instrumen di dalam kerangka untuk menyayangi sesama manusia, sebagaimana yang bersangkutan menyayangi dirinya sendiri. Dengan demikian, puasa akan menjadi bermakna ketika puasa yang dilakukan dapat membangun kesadaran baru tentang pentingnya membangun ritualitas yang saleh dan sekaligus juga membangun sosialitas yang saleh. ( Nur Syam Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya )

Puasa adalah bulan Allah. Apa maksud perkataan-Nya ini? Kiranya hal ini terkait dengan firman-Nya juga (dalam hadis qudsy):

“Puasa adalah untuk-Ku, dan Aku sendiri yang akan membalasnya.”

Maka, kita pun bertanya, tidakkah semua perbuatan (ibadah) anak Adam adalah untuk Allah, dan tidakkah semua ganjaran atas perbuatan (ibadah) anak Adam diberikan oleh Allah? Di luar dugaan banyak orang, jawabannya negatif. Tak semua perbuatan (ibadah) anak Adam adalah untuk Allah. Dalam sebuah hadis qudsi lain, Allah menjelaskan:

 “Setiap perbuatan Anak Adam adalah untuk mereka, selain puasa. Maka puasa adalah untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya”.

Dapat dengan jelas disimpulkan dari hadis qudsi di atas bahwa sesungghnya manfaat semua perbuatan (ibadah) manusia kembali kepada para pelakunya sendiri. Kecuali puasa. Puasa mendapatkan kemuliaan yang begitu luhur sehingga disebut sebagai memberikan “manfaat” kepada Allah sedemikian, sehingga Allah sendiri memberikan ganjaran khusus kepadanya.

Mengapa demikian?

Kiranya salah satu dialog antara Allah dan Nabi Musa ‘alayhis-salam bisa menjelaskan hal ini.

Suatu kali Allah bertanya kepada Nabi Musa: “Wahai Musa, mana ibadahmu untuk-Ku?”. Maka dengan segera Nabi Musa menjawab: “Sesungguhnya semua ibadahku adalah untuk-Mu, Ya Allah.” “Tidak demikian halnya, Wahai Musa,” Allah menukas, “semua ibadahmu itu tak lain untukmu sendiri.” Dalam kebingungan, Nabi Musa bertanya, “Gerangan apakah ibadahku untuk-Mu?” Maka Allah menjawab: “Memasukkan rasa bahagia kepada orang yang hancur hatinya.”

Dialog Allah dengan Nabi Musa ini dengan gamblang menjelaskan alasan mengapa Allah menjadikan puasa sebagai satu-satunya ibadah manusia untuk-Nya. Yakni, adalah ibadah puasda yang hikmahnya mendorong pelakunya untuk memiliki empati kepada fakir-miskin dan, dengan demikian, berupaya untuk melakukan upaya-upaya mengatasi kemiskinan dan kefakiran mereka.

Sebuah hadis persis mengajarkan kepada kita mengenai hal ini:

“Hikmah yang terdapat dalam ibadah puasa adalah agar ... Allah memberikan persamaan antara hamba-Nya, agar orang kaya bisa merasakan kepedihan lapar dan rasa sakitnya, agar mereka dapat merendahkan hatinya di hadapan orang lemah, dan mengasihani yang fakir."

Dalam analisis selanjutnya, puasa dapat disebut sebagai bentuk atau manifestasi paling lengkap dari keberagamaan kita. Pernah ulama besar Nusantara, Syekh Yusuf Makassari, menjalin beberapa hadis untuk menunjukkan apa sebenarnya hakikat agama itu.

“Agama adalah mengenal Allah (ma’rifatul-lah). Mengenal Allah adalah berlaku dengan akhlak (yang baik). Akhlak (yang baik) adalah menghubungkan tali kasih sayang (silatur­ra­him). Dan silaturrahim adalah ‘memasukkan rasa bahagia di hati saudara (sesama) kita (idkhalus-surur fi qalbil-ikhwan)’”.

Dari jalinan hadis tersebut di atas tampil dengan jelas betapa sesungguhnya hakikat-puncak keberagamaan adalah berbuat baik kepada sesama manusia, menghilangkan kesulitan dan mendatangkan kebahagiaan mereka. Kiranya ini bukan suatu penemuan yang mengejutkan. Karena bukankah memang ini misi kerasulan Muhammad?

“Dan tak akan Kami utus engkau (Muhammad) kecuali untuk menebarkan kasih-sayang ke atas semesta alam.”

          Maka, marilah kita jalani ibadah puasa dengan kesadaran penuh akan hikmah yang mesti kita serap darinya. Yakni empati dan solidaritas sosial kepada sesama, khususnya kepada para fakir-miskin yang masih terserak di negeri ini, disekitar kita. Karena, tanpa itu semua, bukan hanya tak ada yang kita peroleh dari kesusahan berpuasa kita “kecuali lapar dan dahaga”. Alih-alih takwa -yakni keadaan “sadar Allah” di mana dan kapan pun kita berada”, yang difirmankan sebagai tujuan ibadah puasa jangan-jangan ia malah menegaskan bahwa keberagamaan kita sesungguhnya tak memiliki landasan keimanan apa-apa, seperti sabda Nabi-Nya:


“Tak beriman seseorang yang tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan.” 

Tidak ada komentar: