Anggota DPR Fraksi PKS Fahri Hamzah
bilang, dalam penyusunan RUU, DPR realtif hanya menonton. Buat mengesahkan RUU,
bocornya, pemerintah lalu nggoyang independensi anggota DPR dengan segala
godaan.
Menjadi satu kekhasan sistem
presidencialismo de coalizao Amerika Latin, mayoritas UU, terutama yang
terpenting, bukan sihiran legislativo, melainkan excutivo. Begawan ilmu hikmah
presidensialisme, Eyang Heinrich Krumwiede dan Eyang Detlef Nolte bersabda, excutivo
adalah pemilik Gestaltungsmacht (Kesaktian Membentuk), modal legislativo cuma
Verhinderungsmacht (Kesaktian Menolak).
Bentuk Verhinderungsmacht tersederhana
adalah ndomblong, gak ngapa-apain, nonton doang. Bahkan, karena presiden
mengendusi akan adanya Verhinderungsmacht parlemen, presidenpun memainkan jurus
Suwignya Ngambang Yuwono, cari selamat gak berkeputusan politik.
Sebenarnya, tiada hari itu semuanya
malam dan kelam. Cuma menontonpun satu kesaktian juga. Apalagi dobel: nonton
ketoprakan RUU sambil ndomblongin video porno. Menurut film, para penonton
Kongso Adu Jago di arena Colosseo masa ketoprakan Romawi sangat berpengaruh.
Kalau mereka ada jempol diarahkan ke bawah, artinya nyawa gladiator yang keok
boleh dibreidel. Jadi, penonton itu penunggu Colosseo, peminta tumbal macam
Giam-lo-ong (Dewa Kematian).
Paranormal ilmu linuwih
presidensialisme padepokan Argentina, Aak Agustin Ferraro bersabda tahun 2002,
Verhinderungsmacht, berwujud dalam persentase RUU inisiatif presidencia yang
ditolak oleh Congresso Nacional, yaitu Camara dos Deputados (DPR) dan Senado
Federal (Senat) di Brasil 51,7 persen (1989-94), Argentina 40 persen (1983-97)
dan Cile 36,60 persen (1990-93).
Idealnya sih, legislativo
presidencialismo de coalizao memiliki dua kesaktian tersebut. Bukan hanya jadi
penonton, tapi minimal penunggu angker, penjambret tumbal.
Gestaltungsmacht parlemen dibilang
terwujudkan, kalau parlemen mampu menyihir RUU sesuai kehendaknya. Perubahan
atau penambahan yang menyangkut hal tertentu demi memuaskan kepentingan para
kliennya, tak dapat digolongkan ke dalam Gestaltungsmacht. Jika parlemen dapat
membuktikan dirinya mampu memainkan Gestaltungsmacht, maka parlemen itu telah
menjalankan fungsi ikut memerintah (united government).
Unsur penentu buat bisa memainkan
Gestaltungsmacht adalah disiplin fraksi. Kehadirannya bak lamuran Anjasmoro,
mengentengkan aktivitas parlemen yang terdiri dari beragam fraksi/koalisi.
Umumnya, disiplin fraksi dianggap sebagai resource kesaktian eksekutif. Tapi,
jika disiplin fraksi gak tergantung pada pemerintah, maka disiplin fraksi dapat
dikandangkan ke dalam resource kesaktian legislatif. Klimaksnya: oposisi
berdisiplin tinggi beraji mumur rogo menguasai parlemen (divided government).
Nah, soal disipilin fraksi ini emang
gak enteng. Ini sosok tergantung antara lain pada melembaganya pengekal kasih
sistem kepartaian dan rejeki langitan sistem pemilu. Disiplin fraksi di Brasil
lemah, oleh sebab sistem kepartaiannya gak melembaga dan bersistem pemilukan
proporsional daftar terbuka suara terbanyak. Karenanya legislativopun kerap
menggunakan Verhinderungsmacht.
Jadinya, persentase penolakan di Brasil
lebih tinggi ketimbang di parlemen berfraksi berdisiplin afdolan macam di
Argentina dengan sistem proporsional closed list dan di Cile dengan sistem
binominal.
Nah, buat mengangkangi
Verhinderungsmacht parlemen, maka dalam ketoprakan Lo scandalo del mensalao
2003-05 masa presidencia Lula, governo menggoyang independensi anggota Camara
dos Deputados dengan berbagai godaan gaib. Hal serupa juga disihirkan di
Kolombia yang bersistemkan kepartaian gak melembaga dan sistem pemilu
proporsional open list.
Mungkin, petaka DPR-RI itu akibat tahun
pengesahan amendemen terakhir UUD 1945, yaitu tahun kuda yang suka perjamuan
dan senang gosip. Gelagatnya, pemerintah menciumnya. Godaannya itu adalah
sesajen RUU kepada legislator yang tokh bukan penonton, tapi demit penunggu
DPR. Barangkali, video porno itu sesajen kiriman dari pemerintah juga.
Penulis : Pipit Kartawidjaja (www.http/// merdeka.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar