Minggu, 23 Juni 2013

LEGISLATOR PENONTON ATAU PENUNGGU





Anggota DPR Fraksi PKS Fahri Hamzah bilang, dalam penyusunan RUU, DPR realtif hanya menonton. Buat mengesahkan RUU, bocornya, pemerintah lalu nggoyang independensi anggota DPR dengan segala godaan. 

Menjadi satu kekhasan sistem presidencialismo de coalizao Amerika Latin, mayoritas UU, terutama yang terpenting, bukan sihiran legislativo, melainkan excutivo. Begawan ilmu hikmah presidensialisme, Eyang Heinrich Krumwiede dan Eyang Detlef Nolte bersabda, excutivo adalah pemilik Gestaltungsmacht (Kesaktian Membentuk), modal legislativo cuma Verhinderungsmacht (Kesaktian Menolak). 

Bentuk Verhinderungsmacht tersederhana adalah ndomblong, gak ngapa-apain, nonton doang. Bahkan, karena presiden mengendusi akan adanya Verhinderungsmacht parlemen, presidenpun memainkan jurus Suwignya Ngambang Yuwono, cari selamat gak berkeputusan politik. 

Sebenarnya, tiada hari itu semuanya malam dan kelam. Cuma menontonpun satu kesaktian juga. Apalagi dobel: nonton ketoprakan RUU sambil ndomblongin video porno. Menurut film, para penonton Kongso Adu Jago di arena Colosseo masa ketoprakan Romawi sangat berpengaruh. Kalau mereka ada jempol diarahkan ke bawah, artinya nyawa gladiator yang keok boleh dibreidel. Jadi, penonton itu penunggu Colosseo, peminta tumbal macam Giam-lo-ong (Dewa Kematian).

Paranormal ilmu linuwih presidensialisme padepokan Argentina, Aak Agustin Ferraro bersabda tahun 2002, Verhinderungsmacht, berwujud dalam persentase RUU inisiatif presidencia yang ditolak oleh Congresso Nacional, yaitu Camara dos Deputados (DPR) dan Senado Federal (Senat) di Brasil 51,7 persen (1989-94), Argentina 40 persen (1983-97) dan Cile 36,60 persen (1990-93).

Idealnya sih, legislativo presidencialismo de coalizao memiliki dua kesaktian tersebut. Bukan hanya jadi penonton, tapi minimal penunggu angker, penjambret tumbal.

Gestaltungsmacht parlemen dibilang terwujudkan, kalau parlemen mampu menyihir RUU sesuai kehendaknya. Perubahan atau penambahan yang menyangkut hal tertentu demi memuaskan kepentingan para kliennya, tak dapat digolongkan ke dalam Gestaltungsmacht. Jika parlemen dapat membuktikan dirinya mampu memainkan Gestaltungsmacht, maka parlemen itu telah menjalankan fungsi ikut memerintah (united government).

Unsur penentu buat bisa memainkan Gestaltungsmacht adalah disiplin fraksi. Kehadirannya bak lamuran Anjasmoro, mengentengkan aktivitas parlemen yang terdiri dari beragam fraksi/koalisi. Umumnya, disiplin fraksi dianggap sebagai resource kesaktian eksekutif. Tapi, jika disiplin fraksi gak tergantung pada pemerintah, maka disiplin fraksi dapat dikandangkan ke dalam resource kesaktian legislatif. Klimaksnya: oposisi berdisiplin tinggi beraji mumur rogo menguasai parlemen (divided government).

Nah, soal disipilin fraksi ini emang gak enteng. Ini sosok tergantung antara lain pada melembaganya pengekal kasih sistem kepartaian dan rejeki langitan sistem pemilu. Disiplin fraksi di Brasil lemah, oleh sebab sistem kepartaiannya gak melembaga dan bersistem pemilukan proporsional daftar terbuka suara terbanyak. Karenanya legislativopun kerap menggunakan Verhinderungsmacht. 

Jadinya, persentase penolakan di Brasil lebih tinggi ketimbang di parlemen berfraksi berdisiplin afdolan macam di Argentina dengan sistem proporsional closed list dan di Cile dengan sistem binominal.

Nah, buat mengangkangi Verhinderungsmacht parlemen, maka dalam ketoprakan Lo scandalo del mensalao 2003-05 masa presidencia Lula, governo menggoyang independensi anggota Camara dos Deputados dengan berbagai godaan gaib. Hal serupa juga disihirkan di Kolombia yang bersistemkan kepartaian gak melembaga dan sistem pemilu proporsional open list.

Mungkin, petaka DPR-RI itu akibat tahun pengesahan amendemen terakhir UUD 1945, yaitu tahun kuda yang suka perjamuan dan senang gosip. Gelagatnya, pemerintah menciumnya. Godaannya itu adalah sesajen RUU kepada legislator yang tokh bukan penonton, tapi demit penunggu DPR. Barangkali, video porno itu sesajen kiriman dari pemerintah juga.

 Penulis : Pipit Kartawidjaja (www.http/// merdeka.com)

Tidak ada komentar: